Cari Blog Ini

Kamis, 21 Juni 2012

HIKMAH IBADAH DALAM ISLAM


Hampir 2000 tahun yang lalu Plutarchus, seorang ahli sejarah berbangsa Yunani mengatakan, bahwa mungkin kita menjumpai kota-kota tanpa benteng, raja-raja, kekayaan, sastra maupun teater-teater, tetapi tidak ada satu kotapun tanpa tempat ibadah atau penduduknya tidak melakukan ibadah.

Pernyataan Pluctarchus itu amat penting artinya, sebab dengan pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa kerinduan untuk berhubungan dengan Tuhan merupakan  pembawaan  kodrat jiwa manusia, serta tumbuh dari dalam jiwa manusia sendiri. Tetapi suatu kenyataan bahwa temp[at-tempat ibadah yang terdapat di mana-mana menunjukkan adanya keanekaragaman tentang siapa yang dituju dengan ibadah tersebut dan bagaimana cara melaksanakannya. Hal ini membuktikan, bahwa keanekaragaman itu tidak berasal dari satu sumber, melainkan dari banyak sumber, yaitu manusia yang beraneka macam kecenderungan jiwa dan cakrawala pemikirannya.

Dari segi ini dapat diketahui betapa pentingnya Allah mengutus rasul-rasulNya, yaitu untuk mengarahkan pembawaan kodrat jiwa manusia, agar dapat menunjukkan ibadahnya kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam seluruhnya. Muhammad SAW sebagai Rasul Allah yang terahkirdan al-Qur’an sebagai kitab Allah yang terahkir, memberikan penegasan-penegasan yang amat jelas, bahwa hanya Allah saja Tuhan yang berhak disembah.

Banyak ayat al-Our’an yang memberi penegasan demikian. Ruh ajaran Islam adalah Tauhid, meng-esakan Tuhan secara mutlak. Islam menjadi persaksian, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, sebagai salah satu sendi ajaran  Islam. Dalam Al Qur’an antara lain :

-          surat Al Fatihah ayat 5 mengajarkan, bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan diminta pertolongan. 
-          surat An-Nisa’ ayat 36 memerintahkan , agar orang menyembah hanya kepada Allah dan jangan ada sesuatupun yang disekutukan kepada Allah.
-          Surat An-Nahl ayat 36 menegaskan, bahwa ajakan beribadah hanya ditujukan kepada Allah merupakan inti ajaran para Rasul.

Mempersekutukan seseuatu kepada Allah dinamakan syirik. Al-Qur’an menyatakan dalam berbagai surat dan ayat antara lain :

-          Surat An-Nisa’ ayat 48 menegaskan, bahwa syirik adalah perbuatan dosa terbesar yang tidak akan memperoleh ampunan Allah.
-          Surat An-Nisa ayat 116 ditegaskan, bahwa orang yang berbuat syirik adalah orang sesat jauh dari Allah tidak akan memberi ampun atas dosa syirik itu.
-          Surat Al-Araf ayat 194 dijelaskan, bahwa selain Allah, semua yang ada di alam ini adalah makhluk-makhluk seperti manusia juga, yang tidak berhak disembah.

Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang utama disbanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu apabila ia menyembah kepada selain Allah, atau menyembah kepada sesama makhluk Allah, minsalnya malaikat, jin, manusia, binatang, benda-benda langit, kayu, batu, dan roh-roh berarti menurunkan derajat kemanusiannya yang diberi tempat demikian tinggi oleh Allah.

Islam mengharamkan binatang yang disembelih dengan maksud dan tujuan untuk saji-sajian berhala dan sebagainya. Kerbau yang disembelih dengan tujuan untuk ditanam kepalanya, untuk menjadi
saji-sajian bagi makhkluk halus, ketika akan mulai membangun gedung, termasuk sembelihan yang haram dan perbuatan itu termasuk syirik. Sedemikian keras Islam mengajarkan, agar jangan sampai orang terjerumus dalam kemusyrikan. Hal itu untuk menjaga keselamatan manusia, agar jangan sampai dimurkai Allah karena menyekutukan Allah dan menyinggung keesaannya.

Manusia dalam sejarahnya telah merusak ajaran agama. Yang menyebabkan rusaknya agama adalah orang-orang agama sendiri, yaitu para pejabat keagamaan. Merekalah yang mempunyai konsepsi, bahwa jarak antara manusia dengan Tuhan adalah jauh. Untuk memanjatkan do’a kepada Tuhan, manusia awam tidak dapat secara langsung, tetapi harus dengan perantara mereka. Hanya kaum ahli agama dapat langsung mendekatkan diri kepada Tuhan.

Berdasarkan konsepsi serupa itu, para ahli agama menentukan berbagai macam syarat dan ikatan-ikatan ibadah. Mereka menentukan temapt khusus untuk beribadah, serta menentukan perantara dan upacara yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap cara-cara yang telah ditentukan mengakibatkan ibadah tidak sah dan tidak dapat diterima Tuhan. Untuk melakukan ibadah diperlukan berbagai macam syarat sajian dan sekedar uang untuk para perantara yang memonopoli urusan keagamaan. Membaca kitab suci menjadi wewenang mereka saja dan demikian pula membaca do’a.

Kalau dipelajari sejarah agama-agama di dunia, akan dijumpai adanya lembaga karyawan agama yang antara lain berfungsi sebagai perantara manusia awam untuk beribadah kepada Tuhan. Sejarah reformasi dunia Kristen yang dipelopori oleh Martin Luther, motif yang amat menonjol adalah protes terhadap monopoli para ahli agama dalam dunia khatolik. Islam mengembalikan ajaran agama yang murni berasal dari wahyu. Hubungan manusia dengan Tuhan tidak perlu dengan perantara apa dan siapapun. Ibadah dapat dilaksanakan di tempat manapun dan tanpa upacara-upacara di depan para ahli agama. Khusus mengenai tempat melakukan ibadah, Islam mengajarkan bahwa bumi Allah adalah masjid bagi kaum muslimin. Dalam hubungan ini hadist Nabi riwayat Bukhaari-Muslim mengatakan:
“Bumi ini dijadikan Allah untukku sebagai masjid dan alat bersuci siapapun yang menjumpai waktu shalat, hendaklah ia mengerjakan di mana ia berada”

Satu-satunya tempat yang dikhususkan untuk melakukan ibadah dengan nilai tinggi adalah baitullah di Mekkah dan daerah sekitarnya untuk melakukan ibadah haji. Di samping itu Islam membebaskan manusia dari ikatan sistem perantara. Al-Qur’an dalam berbagai ayat :

-          Surat Al Baqarah ayat 186 mengajarkan, bahwa Allah dekat kepada hamba-hambaNya, akan dikabulkan-Nya permohonan orang yang berdo’a kepada-Nya, serta orang supaya memenuhi ajakan-Nya dan beriman kepada-Nya, agar senantiasa berada di atas kebenaran.

-          Surat Al Qaf ayat 16 menegaskan, bahwa Allah amat dekat kepada manusia, lebih dekat dari urat lehernya.

Islam mengajarkan bahwa hubungan dengan Allah dengan manusia amat dekat, mengajarkan pula bahwa manusia adalah makhluk Allah yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang utama di antara makhluk-makhluk Allah yang lain. Oleh karena itu untuk berhubungan dengan Allah, tidak menentukan perantara apa dan siapapun juga.

Nabi mengajarkan juga, apanila seseorang menghadapi masalah penting dalam hidupnya di dunia dan memerlukan keputusan yang
tepat, hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at, kemudian memanjatkan do’a yang pokoknya memohon kepada Allah, jika hal yang dilakukan akan mendatangkan kebaikan dalam kehidupan dunia dan kebaikan di akhirat, dapat dimudahkan jalannya. Tetapi
jika sebaliknya, mohon dijauhkan dari yang diinginkan dan mohon diberikan ganti yang lebih baik.
Demikian Allah mendidik hati nurani manusia untuk merasakan, bahwa Allah benar-benardekat dan selalu beserta dengan manusia di manapun ia berada. Tetapi hal ini tidak berarti manusia dan Tuhan dapat bersatu, seperti keyakinan para penganut aliran pantheisme. Islam tidak mengajarkan manuggaling kawula gusti. Tuhan tidak pernah menjelma pada manusia dan manusia dituntut untuk mempunyai sebagian sifat-sifat Ketuhanan. 
       
A. PRINSIP-PRINSIP IBADAH

1. Ada Perintah dan Ketentuan

Dalam melakukan ibadah kepada Allah, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan, bahkan sebaliknya manusia sangat terikat pada ketenuan-ketentuan yang diberikan Allah dan Rasulnya. Dalam bidang mu’amalah atau keduniaan terdapat kelonggaran yang demikian luas bagi manusia, sesuai dengan kaedah fiqhiyyah yang menyatakan “hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang mengharamkan”. Berlainan halnya dengan bidang ibadah, karena terdapat ketentuan manusia, sesuai dengan bunyi kaedah fiqhiyyah “ Hukum pokok terhadap ibadah adalah bathal (tidak boleh dikerjakan), kecuali ada dalil yang memerintahkan”.

Untuk ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji dengan jelas terdapat perintah dan ketentuan dalam al-Qur’an. KemudianRasul sebagai figure yang menerima berbagai perintah ibadah, yang tentu saja sebagai pihak yang paling tahu mengenai isi dan maksud perintah, selanjutnya memberikan petunjuk kepada umat tentang bagaimana cara melaksanakannya. Petunjuk Rasul ada yang diberikan dalam
bentuk fi’il atau perbuatan dan ada yang berbentuk qauli atau ucapan.
Ibadah shalat ditegaskan kewajibannya antara lain melalui firma Allah daqlam surat al-Ankabut ayat 45 :“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar”. Setelah itu Rasulullah membuat ketentuan-ketentuan,  antara lain mengenai perincian waktu pelaksanaan, macam-macam, syarat-syarat, dan rukunnya. Beliau bersabda : “ Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku melaksanakan shalat”. 

Ibadah puasa diwajibkan melalui firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183 : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.   Waktu untuk melaksanakan ibadah puasa juga ditetapkan Allah, yaitu pada setiap bulan Ramadhan, sebagaimana tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 185 : “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan ramadhan, bahwa yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjukbagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu barang siapa di antara kamuhadir di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.  Adapun ketentuan tentang syarat puasa, yang menentukan puasa sunnah dan lain sebagainya ditentukan oleh Rasul.

Ibadah zakat, ketentuan kewajiban zakat dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dalam surat Taubah ayat 103: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka”.  Ada delapan golongan (ashnaf delapan) penerima zakat, yang ditentukan dalam surat Taubah ayat 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Ketentua waktu membayar zakat, kreteria orang yang diwajibkan membayar zakat, kadar yang harus dikeluarkan, jenis-jenis barang yang dikenai zakat dan lain-lainnya, dijelaskan oleh Rasul.

Ibadah haji diwajibkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 194: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”. Ketentuan ibadah haji hanya diwajibkan atas orang-orang yang kuat fisiknya, sehat mentalnya, dan cukup keuangannya untuk pergi dan pulang, diketentuan dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 97: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. Sedangkan ketentuan mengenai bagaimana cara mengerjakan haji, seperti thawaf, sa’I, melontarkan jumrah, wuquf, dan hal-hal yang menjelaskan pantangan dalam menunaikan ibadah haji, pakaian yang dipakai ketika berhaji dan lainlainnya, dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Ambilah olehmu dari aku cara cara melaksnakan ibadah haji”.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui, bahwa seluruh ibadah yang diwajibkan memiliki dasar-dasar yang kuat. Ibadah-ibadah sunnat, seperti shalat sunnat dan puasa sunnat juga demikian halnya. Dengan demikian jelaslah, dalam bidang ibadah terdapat satu prinsip, bahwa ibadah yang sah dan boleh dilakukan adalah ibadah yang memang terdapat perintah dan ketentuan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

2. Meniadakan Kesukaran

Keseluruhan ibadah dalam syari’at Islam tidak ada yang menyukarkan dan memberatkan mukallaf atau orang yang dikenai kewajiban, apabila yang tidak mungkin dilaksanakan. Semua ibadah berada dalam batas-batas kewajiban dan sejalan dengan kadar kesanggupan manusia. Prinsip kedua ini diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Perintah mengerjakan shalat fardhu, walaupun diwajibkan dalam jumlah lima kali dalam satu hari satu malam, tidak sampai mengakibatkan timbulnya kesukaran bagi orang yang mengerjakan. Seorang karyawan tidak mungkin terganggu pekerjaannya dengan meluangkan waktu sekitar sepuluh menit untuk mengerjakan shalat. Seorang pedagang tidak akan merugi dan kehilangan pendapatan, karena mengerjakan shalat. Bahkan seorang pengemudi jarak jauh tidak akan terganggu perkerjaannya membawa penumpang, apabila ia mengerjakan shalat. Apalagi ajaran Islam memberikan ruskshah atau keringanan kepada mereka untuk mengerjakan shalat secara jama’ atau menggabungkan dua shalat pada satu waktu.

Demikian juga halnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah puasa yang mewajibkan manusia menahan makan, minum, dan seks sejak terbit matahari sampai terbenamnya matahari. Pada umumnya tidak menimbulkan kesukaran bagi orang yang melakukan puasa, apalagi dengan disunanatkan makan sahur. Dalam hal ini Rasulullah bahkan mengatakan, bahwa “berpuasa itu mendatangkan kesehatan” dan sabda tersebut telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu kedokteran.

Dalam hal zakat, kadar harta yang wajib dikeluarkan zakatnya oleh muzakki atau orang yang berzakat rata-rata hanya 2,5 % dari harta yang diperoleh. Ibadah zakat tidak menyebabkan timbulnya kesukaran bagi muzakki dan tidak akan mengakibatkan menjadi miskin atau jatuh pailit. Allah menjanjikan untuk mereka yang berzakat ibarat menanam satu biji yang akan memunculkan 7 cabang dantiap cabang akan membuahkan 100 biji dalam surat al-Baqarah ayat 261. Dalam kenyataan, mereka yang rajin dan tertib menunaikan ibadah zakat, justru mendapat rezki yang lebih melimpah dan memperoleh banyak kemudahaan.

Dalam bidang haji, tidak adanya kesukaran lebih jelas lagi, karena yang terkena kewajiban untuk mengerjakan haji hanya orang-orang yang memiliki tingkat kemampuan sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesukaran berati bagi mereka dalam pelaksanaannya.



3. Tidak Banyak yang dibebankan

Prinsip yang ketiga ini mempunyai hubungan dengan prinsip yang kedua di atas, karena apabila banyak yang dibebankan, tentu akan berakibat timbulnya kesukaran. Yang dimaksud dengan prinsip tidak banyak yang dibebankan adalah bahwa pembebanan dalam syari’at Islam jika dibandingkan dengan waktu dan keadaan, sesungguhnya tidak dapat dikatakan banyak. Yang mendasari prinsip ini adalah firman Allah surat al-Maidah ayat 101:

hai orang-orang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan, nicaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang”.

Berdasarkan ayat ini dapat disimpulkan, bahwa Allah memandang telah memadai hukum-hukum yang diterangkan, dalam pengertian Allah tidak berkehendak untuk memperbanyak hukum, karena hal ini akan menyusahkan hamba-hamba-Nya.
Apabila waktu yang diperlukan untuk mengerjakan satu kali shalat diperkirakan 12 menit, maka untuk mengerjakan limaka kali shalat membutuhkan selama satu jam. Oleh karena itu  waktu yang diperlukan untuk mengerjakan shalat hanya satu jam dari 24 jam sehari yang dianugrahkan Allah kepada umat manusia. Demikian juga dengan ibadah puasa hanya satu bulan dari 12 bulan, sedangkan ibadah zakat hanya 2,5 % atau 1/40 dari perolehan, dan haji ibadah haji hanya satu kali dalam seumur hidup bagi orang yang mampu.

Secara umum dapat dimukakan, bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan ibadah disyaratkan setelah peristiwa hijrah. Hal ini erat sekali kaitannya dengan ayat-ayat al-Qur’an yang turun setelah hijrah, yaitu mayoritas berisi ayat-ayat hukum. Di antara ayat-ayat hukum tersebut berkaitan dengan ibadah. Namun demikian sebagian ibadah telah disyaratkan sebelum peristiwa hijrah, misalnya shalat. Para ulama berpendapat, bahwa shalat pada mulanya disyaratkan hanya dua rakaat waktu pagi dan waktu sore, seperti yang dijelaskan dalam firman Allah surat al-Makminuun ayat 55: “Dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”. Shalat lima waktu diwajibkan sesudah peristiwa mi’raj. Ibadah thaharah disyaratkan sejalan dengan pensyaratan shalat, karena thaharah merupakan syarat sahnya pelaksanaan shalat.

Allah telah mewajibkan kepada muslimin berpuasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan setiap tahunnya. Puasa diwajibkan kepada kaum muslimin pada tahun 2 hijrah. Setiap umat beragama mempunyai tempat-tempat tertentu  yang dipergunakan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang-orang Arab sebelum Islam mempunyai tempat ibadah, yaitu Baitul Haram yang didirikan oleh nenek moyang mereka, nabi Ibrahim a.s dan nabi Ismail a.s. Oleh karena itu telah ada tradisi bangsa Arab untuk melaksanakan haji sejak zaman nabi Ibrahim dan nabi Ismail sampai datangmnya Muhammad yang diutus Allah menjadi Rasul. Ibadah haji yang dilakukan orang-orang Arab kemudian berubah dan tidak lagi sesuai dengan apa yang diajarakan nabi Ibrahim. Mereka telah mempersekutukan Allah dengan berhala yang mereka letakan di samping Baitullah, di Safa, dan Marwa, yang mereka anggap sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka tidak lagi mengagungkan nama Allah, tetapi telah mengagungkan nama selain Allah.
Pada waktu Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasuldan bertugas meluruskan kembali agama yang dibawa nabi Ibrahim dan mengajar manusia untuk tunduk dan patuh menjalankan perintah Allah serta menghacurkan syirik, Allah tetap menetapkan Baitullah sebagai tempat untuk menjalankan haji dan umrah. Ibadah haji difardukan pada tahun 6 hijarah. Pada waktu itu nabi Muhammada pergi ke Baitullah untuk menjalankan umrah, tetapi terhalang oleh musuh. Pada tahun 7 hijarah nabi pergi lagi melaksanakan umrah. Pada tahun 9 hijarah Abu Bakar pergi melaksanakan haji bersama kaum muslimin. Nabi Muhammad pergi haji bersama seluruh kaum muslimin pada tahun 10 hijrah yang dikenal dengan haji Wada’.

Islam memandang zakat adlah ibadah yang sangat penting dan wajib dilaksanakan sama halnya dengan shalat. Al-Qur’an menyebut shalat dalam 82 ayat, sedang zakat 31 ayat, dan 22 ayat diantaranya menyebutkan shalat dan zakat sedcara beriringan. Hal ini menunjukkan, bahwa mengeluarakan zakat sama pentingnya dengan ibadah shalat.

Perintah ibadah dalam ajaran Islam telah ditetapkan dalam nash dan bersifat tetap. Ibadah tidak terpengaruh oleh perkembangan masa dan perbedaan tempat, serta wajib diikuti tanpa harus terlebih dahulu menyelidiki makna dan maksudnya. Masalah ibadah merupakan sesuatu yang tidak ada imbangannya dalam hukum positif. Hukum positif tidak membahas hubungan makhluk dengan Tuhannya atau hubungan micro cosmos dengan macro cosmos. Dalam Islam masalah ibadah mendapat perhatian yang sangat khusus dan penting. Ibadah merupakan hakikat dan tujuan hidup manusia, seperti yang dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surat az-Zariyat ayat 56: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahku”.

Menyembah Allah SWT bearti memusatkan penyembahan kepada Allah semata-mata, tidak ada yang disembah dan tempat mengabdikan diri kecuali kepada Allah saja.Pengabdian berarti penyerahan diri secara mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara lahiriah dan batiniah kepada kehendak ilahi. Hal itu dilakukan dengan kesadaran, baik sebagai perseorangan maupun secara berkelompok.
Oleh karena itu, semua kegiatan manusia baik yang bercorak ubudiah maupun muamalat harus dikerjakan dalam rangka pengabdian kepada Allah dan mencari keredlaannya. Suatu pekerjaan bernialai ibadah sangat tergantung dari niatnya. Suatu bantuan yang diberikan kepada seseorang betapapun kecilnya bantuan itu, tetapi dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata mengaharapkan ridla Allah, maka menjadilah bantuan itu sebagai ibadah. Walaupun pekerjaan yang dilakukan itu adalah shalat, kalau dikerjakan hanya karena mengharap pujian dari manusia, maka shalatr itu tidak mendapat nilai ibadah.

Oleh karena itu adanya ibadah yang diajarkan dalam Islam tidak berarti harus menjauhi hidup duniawi. Islam melarang manusia untuk melakukan ‘uzlah  yaitu menjauhkan diri dari gejolak masyarakat. Tetapi Islam menuntutagar kehidupan manusia dapat harmonis dan seimbang, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77 : “Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan nasibmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.

Islam mengajarakan bahwa kehidupan duniawi bukanlah tujuan. Demikian pula hasil kegiatan di muka bumi bukanlah tujuan yang hakiki. Keridlaan Allah yang memungkinkan tercapainya hidup dan kehidupan duniawi yaitu kehidupan ukhrawi, yang puncak kebahagiannya terletak dalam pertemuan dengan Allah merupakan arti ibadah sebagai tujuan hidup.
Suatu kehidupan yang bertujuan ibadah, akan memberikan ketenangan hidaup dan kerja. Apapun corak lapangan hidupnya akan selalu membawa ketenangan jiwa para pelakunya sebagai tanda syukur nikmat. Syukur nikmat bearti pula tetap bekerja meningkatkan prestasi dengan harpan akan datangnya hari depan yang lebih cerah dan lebih indah. Selain itu seorang yang bekerja atau menjalankan tugas sehari-hari dengan niat ibadah, maka segala pekerjaanya selalu dalam batas-batas keredlaan Allah, sehingga jauh dari segala kecurangan dan hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu orang yang kerjanya bernialai ibadah akan membawa kebaikan dan keberuntungan tidak hanya bagi kehidupan pribadinya, tetapi juga bagi kehidupan bersama di masyarakat.

Sebaliknya apabila suatu kehidupan tidak bertujuan ibadah, maka seseorang akan mudah mengalami putus asa. Hidupnya di dunia ibarat sebuah perahu yang tengah berlayar di samudera luas, yang dipermainkan gelombang laut tanpa kemudi dan jangkar serta tidak punya pedoman.  Ia akan mudah hanyut bahkan tenggelam. Oleh karena itu orang tidak mengetahui tujuan hidup, dalam pekerjaanya akan mudah terlibat dalam kecurangan dan kejahatan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ibadah dalam Islam merupakan sarana untuk menyatakan syukur kepada Allah, yang telah memberikan kurnia kepada manusia dengan berbagai nikmat yang berkaitan penciptaan phisik dan psikis atau dalam bentuk penyediaan segala kebutuhan umat manusia yang beraneka ragam jumlah, jenis, dan rasanya.

Manusia diciptakan Allah yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Betapa besarnya nikmat dan kurnia yang diterima manusia tak seorangpun yang mampu menghitungnya. Oleh sebab itu sudah selayaknya manusia bersyukur dan berbakti kepada Pencipta Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa, dengan melakukan ibadah dengan tertib sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia dalam penciptaan dijelaskan Allah dalam surat at-Tiin ayat 4:

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Sedangkan dalam surat al-Isra’ ayat 70: “Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anbak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kurnia yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah kami ciptakan”.

Manusia diciptakan Allah bukan hanya sekedar untuk hidup di dunia, kemudian mati tanpa pertanggung jawaban. Manusia diciptakan Allah di dunia untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah. Wujud pengabdian tersebut adalah dalam bentuk semua amal perbuatan yang berhubungan dengan nilai atau pelaksanaan amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardl, yaitu untuk memakmurkan bumi dan segala isinya.

Membuat kemakmuran di bumi merupakan tugas utama manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang diredhoi Allah. Karena begitu berat dan ulianya tugas yang diberikan kepada manusia, maka manusia diciptakan Allah dalam bentuk konstruksi yang sangat serasi dan bagus. Oleh sebab itu manusia harus mempertanggung jawabkan semua amanah yang dipegangnya. Dalam hal ini Allah menegaskan dalam beberapa surat al-Mukminuun ayat 110:

”Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main(saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami”. Dalam surat Bayyinah ayat 5 :”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya”.

Allah Maha Mengetahui tentang kejadian dan tugas manusia, maka Allah memerintahkan kepada manusia supaya tetap berkomunikasi dengan Allah. Dengan ibadah komunikasi antara Pencipta dengan makhluknya akan selalu terjaga. Terjaganya komunikasi anatara manusia dengan Tuhan menyebabkan hidup akan terpelihara dari dosa. Orang seperti inilah yang dicita-citakan Islam, yang disebut dengan prediket taqwa. Hal ini pulalahyang menjadi hakekat ibadah dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an dalam surat  al-Baqarah ayat 21 : “Hai manusia, sembahalah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.

Di samping itu ibadah juga merupakan pernyataan syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniai manusia dengan berbagai nikmat yang tiada terhingga, sehingga jumlah dan macamnya tak mungkin dapat dihitung oleh manusia, baik dari segi penciptaan fisik manusia yang begitu sempurna maupun dalam penyediaan segala kebuthan hidup manusia.

Dengan demikian makin jelas, bahwa tujuan ibadah di samping menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan., juga merupakan cara untuk menyatakan syukur kepada Tuhan atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan kepada manusia.

B. Macam Ibadah
   
Macam ibadah ditentukan berdasarkan sudut pandang yang dipergunakan unutk menilainya

1. Secara umum ibadah dikelompokkan menjadi :

a.       Ibadah ‘aammah atau ibadah qhairu mahdllah (non ritual) yaitu semua perbuatan positif yang dilakukan dengan niat baik dan semata-mata keridlaan Allah. Teknis pelaksanaan ibadah ini secara operasional diserahkan kepada orang yang akan melakukannya, dengan memperhatiakan situasi dan kondisinya. Dalam istilah lain dapat dikatakan seluruh amalan yang dizinkan Allah.

b.      Ibadah Khasshah atau ibadah mahdllah (ritual), yaitu segala kegiatan yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibadah dalam artian khusus ini tidak menerima perubahan baik berupa penambahan ataupun pengurangan, misalnya shalat. Shalat dalam ajaran Islam biasanya digolongkan dalam ibadah khusus, karena itu cara melaksanakannya termasuk jumlah rakaatnya tidak dibenarkan untuk ditambah atau dikurangi. Jika terdapat penambahan atau pengurangan, maka hal itu dinamakan bid’ah, yaitu mengada-ada.

2. Ditinjau dari sudut pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua
    bagian yaitu :

a.       Ibadah Jasmaniah Ruhiyah, yaitu ibadah yang dalam pelaksanaannya memerlukan kegiatan phisik, disertai jiwa yang tulus atau ikhlas kepada Allah. Contohnya adalah shalat yang terdiri beberapa perbuatan dan perkataan dengan disertai kekhusyu’an. Kegiatan shalat memerlukan gerak anggota badan, ucapan tertentu dan keikhlasan. Tanpa hal itu semua, shalat yang dilakukan dianggap tidak sah.

b.      Ibadah Jasmaniah Ruhiyah Maaliyah, yaitu ibadah yang pelaksanaannya memerlukan kekuatan phisik, mental yang membaja, dan materi. Contohnya adalah ibadah haji, haji dalam Islam hanya diwajibkan kepada orang yang mempunyai kemampuan (istitha’ah). Kemampuan meliputi kemampuan phisik, mental, dan harta. Kekuatan phisik diperlukan bagi mereka yang ingin melalkukan ibadah haji. Phisik yang lemah menyebabkan orang tidak mampu melaksanakan ibadah haji dengan baik dan sempurna. Tanpa kesiapan mental, manusia tidak akan sanggup untuk melakukan haji dengan baik. Di samping itu tanpa materi, terutama bagi mereka yang jauh dari mekkah, ibadah haji tidak dapat dilakukan.



3.  Ditinjau dari sudut kepentingannya, ibadah dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
a.       Ibadah Fardy, yaitu ibadah yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melakukan saja dan tidak ada hubungannya dengan orang lain. Contohnya adalah shalat dan shaum merupakan ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan Allah. Orang yang melakukan shalat diharapkan dapat menjaga dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Di samping itu orang yang puasa diharapkan dapat benar-benar menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah. Kedua nilai itu tidak akan diperoleh orang lain, kecuali orang itu yang melakukannya sendiri.
b.      Ibadah Ijtima’I, yaitu ibadah yang manfaatnya di samping dirasakan oleh orang melakukan juga dapat dirasakan oleh orang yang lain. Contohnya adalah ibadah zakat, dalam ajaran Islam mengajarkan, bahwa zakat merupakan upaya untuk membersihkan harta seseorang dan sekaligus dapat berfungsi sosial, yaitu untuk mengurangi kesenjangan antara si kaya dengan si miskin atau orang yang tidak mampu. Yaitu antara zakki dengan mustahiq. Dengan mengeluarkan zakat berarti ikut meringankan beban orang lain, artinya sembari beribadah orang lain dapat merasakan manfaatnya.

1.      Dilihat dari sudut waktu pelaksanaannya, ibadah dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu :

            Ibadah Muwaqat, yaitu ibadah yang waktu pelaksanaannya sangat terikat dengan waktu-waktu yang telah ditentukan Allah atau RasulNya. Apabila dilaksanakan di luar waktunya, maka nilainya menjadai tidak ada atau menjadi tidak sah. Mislnya ibadah shalat, setiap shalat mempunyai waktu tertentu, artinya setiap shalat harus dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Orang yang akan mendirikan shalat harus mengetahui, bahwa pada saat ini telah masuk waktu shalat yang didirikannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 103 : “ Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. Kalau diperhatikan penjelasan hadist yang berkaitan dengan waktu shalat, misalnya dzuhur adalah mulai dari tergelincir matahari sampai dengan bayang-bayang sama panjangnya dengan benda yang didirikan dengan tegak lurus. Hadist Nabi menyatakan:

         “ Dari jabir bin Abdullah, bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril a.s. lalu Jibril berkata kepadanya: Berdirilah, lalu shalatlah. Kemudian Nabi shalat dzuhur ketika matahari sudah tergelincir”.  
         “ Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jibril a.s. mengimami aku di Baitullah dua kali. Lalu ibnu Abbas menyebutkan seperti hadist Jibril, tetapi ia berkata di dalam hadist itu: dan Nabi shalat yang kedua kalinya ketika bayangan tiap-tiap sesuatu menjadi sama. Imam Tarmidzi berkata: Hadist ini hasan.

Masalah timbul ketiaka perkembangan teknologi dan transportasi meningkat. Timbul pertanyaan. A. Bagaimana orang shalat di kutub yang matahari terbitnya 6 bulan sekali?. B. Bagaimana shalat dipesawat ruang angkasa yang mataharinya terlihat setiap 5 menit. Untuk pertanyaan B. sudah ada jawabannya dari ulama Mekkah ketika putra mahkota Saudi ikut terbang ke angkasa, maka ia yang menyuruh shalat mengikuti shalat di Mekkah. Apakah jawaban itu juga dapat digunakan untuk mereka yang tinggal di kutub? Jika ini dignakan, maka waktu shalat bagi orang di Eropa juga harus mengikuti shalat di Mekkah atau di daerah tropis di bawahnya. Demikian juga hal nya dengan ibadah puasa Ramadhan.
4.2. Ibadah Ghairu Muwaqat, yaitu ibadah yang waktu pelaksanaanya tidak tergantung dengan waktu-waktu tertentu, artinya selama diizinkan Allah, maka hal itu dapat dilakukan. Misalnya untuk bertasbih dan zikir kepada Allah, hal itu dapat dilakukan kapan saja. Begitu juga untuk bersedekah tidak ditentukan waktunya. Hanya waktu-waktu yang diutamakan
tentu saja ada, misalnya sadaqah sangat afdhal apabila dilakukan pada bulan Ramadhan seperti yang dijelaskan hadist Nabi: “diriwayatkan dari Anas katanya, ketika Rasulullah ditanya kapankah waktu yang paling baik/ paling afdhal melakukan sedeqah. Jawab Rasulullah: sedeqah di bulan Ramadhan. (H.R. at-Tarmizi).

5. Dilihat dari sudut status hukumnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian yaitu :

 5.1. Ibadah wajib, yaitu ibadah yang harus dilaksanakan oleh   setiap muslim dam muslimah. Apabila tidak dikerjakan, maka yang bersangkutan akan mendapat dosa, misalnya shalat, puasa dan zakat.
     5.2. Ibadah Sunnah, yaitu ibadah yang sebiknya dilaksanakan. Apabila dilaksanakan yang bersangkutan mendapat ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan yang bersangkutan tidak mendapatkan dosa, misalnya shalat rawatib dan dhuha.

C. TUJUAN DAN HIKMAH IBADAH

Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifahtullsh fil Ardhi dengan missi memimpin, mengelola, memakmurkan, dan memelihara keselamatan alam semesta. Untuk kepentingan tersebut Allah menurunkan Agama Islam, agar dengan berpegang pada ajaran Islam, manusia mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya sesuai dengan maksud Allah. Dengan tugas dan fungsi serta tanggung jawab manusia seperti tersebut di atas, Allah menjadi manusia dalam bentuk yang paling sempurna lagi dimuliakan.
Manusia terdiri dari dua unsure, yaitu unsure jasmani dan unsure rohani. Kedua unsure tersebut harus berkembang dengan baik dan seimbang. Oleh karena itu harus mendapat perhatian dan pembinaan yang seimbnag, Unsur jasmani bersifat materi, kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat maretial, seeperti sandang, pangan dan papan, Sedang unsure rohani bersifat immateri, oleh karena itu kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat immaterial, sepertti ajaran akhlak, kesenian dan agama. Manusia yang dalam kehidupannya terlalu mementingkan materi, maka ia akan menjadi materialistic atau serba materi. Sedangkan manusia yang hanya mementingkan immateri, maka ia kan menjadi immaterialistik atau spiritualistic.

Manusia mengalami dua bentuk kehidupan, yaitu kehidupan pertama di dunia dan kehidupan kedua di akhirat. Kehidaupan di dunia adalah sementara yang sering disebut dengan istilah fana, sedang kehidupan di akhirat adalah abadi atau kekal. Kehidupan di akhirat merupakan lanjutan dari kehidupan di dunia dan bagaimana nasib seseorang di akhirat akan ditentukan oleh bagaimana kualitas hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam mengandung ajaran yang berwawasan dunia akhirat dan tidak memisahkan antara dunia dengan akhirat.

Allah menjadikan manusia bukan sekedar untuk hidup di dunia, kemudian mati tanpa pertanggung jawab, melainkan diciptakan untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada kehendak Allah dan Ia akan meminta pertanggung jawaan manusia. Hal ii dapat difahami dalam firman Allah dalam surat al-Mukminuun ayat 110:  

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”.

Islam adalah agama Rahmatan Lil alamin atau rahman bagi seluruh alam.Oleh karena itu, diperlukan manusia yang bertaqwa atau patuh pada segenapperintah dan larangan Allah. Mereka itu tidak lain adalah manusia bersih hatinya dan baik akhlaknya. Manusia seperti inilah yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan, sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dan dirasakan. Pada hakekatnya hal itu merupakan tujuan agama Islam. Ibadah dalam Islam merupakan wasilah atau perantara dan sama sekali bukan qhayah atau tujuan. Oleh karena itu Islam rahbanah dan bukan pula agama yang mengajarkan untuk berlebih-lebihan mengajarkan ibadah. Adapun tujuan ibadah secara rinci adalah :

1. Untuk membina rohani
 
Ibadah yang terdapat dalam syari’at Islam, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji, selain untuk menyatakan ketaqwaan kepada Allah, juga bertujuan untuk menjadaikan rohani manusia senantiasa tidak lupa pada Allah, bahkan supaya senantiasa dekat dengan Allah. Perasaan dekat dengan Allah akan mempertajam kebersihan jiwa, sehingga dapat mencegah hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai Ketuhanan dan hokum yang berlaku dalam memenuhi kebutuhan kehidupan manusia.

Dalam shalat terdapat dialog antara manusia dengan Allah. Dalam keadaan berhadapan dengan Allah, manusia memuja kemahabesaran dan kemahasucian Allah, menyerahkan diri kepada Allah, memohon supaya dilindungi dari godaan syaitan, memohon ampunan dari dosa yang telah dilakukan, memohon supaya diberi petunjuk ke jalan yang benar serta dijauhkan dari kesesatan dan berbagai perbuatan yang tidak senonoh dan lain-lain sebagainya. Ringkasnya dalam dialog dengan Allah, seseorang memohon kiranya Allah membersihkan rohaninya. Jika seseorang melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam denagan penuh keikhlasan menyampaikan permohonan tersebut, diiringi dengan upaya yang sungguh-sungguh ke arah itu, maka rohaninya menjadi bersih dan ia akan terjauh dari perbuatan-perbuatan buruk dan jahat.

Dalam melaksanakan puasa seseorang diwajibkan menahan hawa nafsu makan, minum, dan seks. Di samping itu ia juga harus menahan rasa amarah, keinginan memaki orang, bertengkar, dan perbuatan-perbuatan kurang baik lainnya. Pembinaan jasmani dan rohani bersatu dalam usaha membersihkan jiwa manusia. Dalam bulan Ramadhan orang diajurkan pula untuk banyak mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an. Semuanya itu membawa orang pada keadaan dekat dengan Allah. Pembinaan yang seperti ini disempurnakan dengan pernyataan kasih saying kepada para dhu’afa atau anggota masyarakat yang lemah kedudukan ekonominya dengan mengeluarkan zakat fitrah.

Dalam mengerjakan kewajiaban menunaikan ibadah haji adalah orang yang berkunjung ke Baitullah (rumah Allah) dalam arti rumah peribadatan yang pertama didirikan atas perintah Allah di dunia. Sebagaimana halnya dalam mendirikan shalat, orang yang mengerjakan haji juga merasa dekat sekali dengan Allah. Bacaan-bacaan yang diucapkan pada waktu mengerjakan haji juga merupakan dialog antara manusia dengan Allah.Ibadah haji merupakan usaha pembersihan rohani disertai dengan pembinaan jasmani dalam  bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal yang sangat sederhana. Selama mengerjakan ibadah haji perbuatan-perbuatan tidak baik harus dijauhi dan ditinggalkan. Dalam ibadah haji terdapat pula latihan mempertajam rasa persaudaraan antara sesama manusia, karena dalam ibadah haji tiada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin dan antara orang yang berkedudukan tinggi dengan orangberkedudukan rendah.

Dalam hal kewajiban membayar zakat, walaupun ia mengambil bentuk penyerahan sebagian harta yang diperoleh untuk menolong fakir miskin dan orang-orang yang sedang berada dalam kesusahan hidup, tetapi juga merupakan upaya pembinaan rohani. Dalam hal ini rohani manusia dididik untuk menjauhkan kerakusan dan ketamakan pada harta benda, serta diarahkan untuk mempunyai perasaan kasih, murah hati, dan suka menolong anggota masyarakat yang berada damlam kekurangan. Dengan demikian akan terbina pula rasa persaudaraan.


2. Untuk Membina Akhlak

Akhlak atau budi perkerti luhur merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, bahkan ia merupakan factor penentu kebaikan dan ketentraman suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran jika hal itu banyak disinggung Allah dalam al-Qur’an. Selain itu, Rasulullah sendiri menyatakan bahwa diutusnya beliau ke dunia adalah untuk menyempurnakan pedoman dan ajaran akhlak. Rasulullah pernah mengatakan, bahwa Allah telah menetapkan Islam sebagai agamamu, maka hiasilah agama itu dengan akhlak yang mulia dan hati yang pemurah. Di samping itu Allah mengakui, bahwa Rasulullah adalah orang yang memiliki akhlak yang luhur dan mulia.

Berbagai ibadah dalam Islam yang telah diwajibkan Allah kepada umat manusia, juga bertujuan untuk membina akhlak manusia, Ibadah shalat sangat erat kaitanya dengan upaya pembinaan akhlak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45:
Sesungguhnya shalat itu mencegah orang dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar”.

Oleh karena itu, melaksanakan shalat dengan tertib, teratur, khusyu dan dilandsasi dengan nilai yang tulus karena Allah, akan dapat membentengi orang dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia. Shalat yang tidak mampu menghindarikan dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia adalah shalat yang memiliki nilai rendah. Shalat yang seperti itu selama telah dipenuhi syarat dan rukunnya tetap sah hukumnya, hanya saja belum berhasil mendekatkan pelakunya dengan Allah, sehingga belum dapat menghilangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan Allah.

Demikian pentingnya kedudukan shalat dalam kaitanya dengan soal akhlak, sehinggga Rasulullah secara agak terperinci mengaitkan dengan sifat-sifat rendah dari pada Allah, tidak sombong, mengasihi orang miskin dan lain-lainnya melalui sebuah hadist qudsy sebagai berikut :

“ Shalat yang kuterima adalah shalat yang menjadikan pelakuknya berendah diri di hadapan kebesaran-Ku, tidak berkeras menentang perintah-Ku, melainkan senantiasa ingat kepada-Ku dan menaruh kasih saying kepada kaum fakir miskin, orang terlantar dalam perjalanan, wanita yang ditinggal mati suaminya, dan orang yang ditimpa kesusahan”.

Shalat yang dapat membuat pelakunya terjauh dari macam-macam sifat negatif adalah shalat yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Orang yang khusyu dalam mendirikan shalat dijamin Allah akan memperoleh keberuntungan.

Zakat yang merupakan suatu tindakan memberikan sebagian harta yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat atau orang lain, sebagaimana halnya dengan ibadah-ibadah lainnya juga berkaitan dengan upaya pembinaan akhlak. Menurut firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103: “Ambilah zakat dari sebagaian harta mereka, denagan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikannya”.Jiwa pelaku zakat yang telah terbina akan melahirkan akhlak yang baik.

Ibadah puasa, sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 183 menjelaskan eratnya kaitan puasa dengan pembinaan akhlak karena yang hendak dituju dengan ibadah puasa adalah terciptanya manusia yang bertaqwa, yakni manusia yang senantiasa mentaati perintah dan larangan Allah, manusia yang senantiasa melalkukan perbuatan baik dan menjauhiperbuatan buruk dan jahat, sebagaimana diungkap dalam hadist Rasulullah:
“Dari Abu Huraurah r.a. berkat, Rasulullah SAW bersbda: Apabila salah seorang di antara kamu sekalian itu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan janganlah ribut-ribut. Jika ada seseorang mencaci maki atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia berkata: sesungguhnya saya sedang berpuasa:.

“Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasululllah SAW bersabda: Barangsiapa tidak mau meningglkan kata-kata bohong dan selalu memperbuatnya, maka Allah tidak memperdulikan puasanya itu dimana ia telah susah payah meningglkan makan dan minum”.

Puasa yang dapat menghindarkan pelakunya dari bermacam-macam akhlak yang buruk adalah puasa yang dilakukan dengan menahan sedemikian rupa nafsumakan, minum dan seks, serta menghentikan kerja inderawi dari hal-hal yang bersifat negatif.

Dalam ibadah haji juga terkandung tujuan pembinaan akhlak. Ketika orang melaksanakan ibadah haji, seluruh akhlak buruk dan jahat harus ditinggalkan. Larangan ini bermaksud agar orang meningglkan akhlak yang seperti itu dan suka melakukan akhlak yang baik, sehingga benar-benar menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 197:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.

Ketika melaksanakan ibadah haji orang berdo’a supaya ibadah hajinya mabruur atau diterima Allah. Di antara indikasi ke mabruuran haji adalah terjadi perubahan sikap dan tingkah laku seseorang setelah kembali dari melaksanakan ibadah haji, ke arah peningkatan akhlak yang lebih baik.

Umat Islam melaksanakan berbagai ibadah adalah karena diperintahkan oleh Allah. Kerana manusia mempunyai kecenderungan untuk taat dan tidak taat, maka Allah mengiringi perintah-perintahnya dengan sangsi atau ancaman yang berlaku di akhirat. Namun demikian ibadah dalam Islam bukan dimaksudkan untuk menyembah Allah, karena Allah adalah Maha Besar, Maha Kaya, Maha Perkasa dan Maha segala-galanya, serta disembah atau tidak disembah Allah tetap dalam keMahaannya.
Ibadah disyari’atkan semata-mata untuk kepentingan manusia itu sendiri, yaitu agar manusia menjadi muttaqin, manusia yang senantuasa mematuhi Allah dalam bidang apapun. Oleh karena itu, manusia harus berusaha supaya dapat dekat ke haribaan Allah atau taqarryb ilallah. Adapun jalan yang efektif ke arah itu adalah dengan tertib dan khusyu melakukan ibadah. Apabila terdapat banyak orang yang bertaqwa di lingkungan masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakatyang baik. Dari masyarakat yang baik insyah Allah akan lahir generasi baru yang baik, yang akan melanjutkan tugas-tugas kekhalifahan manusia.

Faktor-factor keikhlasan sangat besar pengaruhnya bagi tercapainya tujuan ibadah. Keikhlasan adalah perbuatan jiw, yaitu sikap jiwa ketika melaksanakan ibadah yang tidak dipengaruhi oleh motivasi-motivasi lain, kecuali motivasi karena Allah semata-mata. Allah berfirman dalam surat al-Bayyinah ayat 5:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mengabdi kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)agama dengan lurus”.

Melaksanakan ibadah dengan tingkat keikhlasan yang tinggi, memungkinkan dapat beribadah dengan kekhusyu;kan yang dalam. Seharusnya setiap orang berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai kualitas ibadah seperti ini, karena ibadah seperti inilah yang dapat menyampaikan seseorang pada tujuan ibadah yang luhur dan mulia.
3. Memelihara Keseimbangan Unsur Rohani dan Jsmani

Pada uraian-uraian di atas telah disebutkan bahwa Islam memandang manusia sesuai dengan hakekatnya. Ajaran-ajaran Islam ditujukan untuk umat manusia, agar memperoleh pedoman yang menjamin kebahagian dan kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rohani, serta perorangan maupun kemasyarakatan. Manusia merupakan kesatuan unsure rohani dan jasmani. Manusia hidup memerlukan hasil potensi alam. Manusia hidup memerlukan hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan dilakukan dengan iman yang bersebdi tauhid mutlak dan ibadah yang ihklas sesuai dengan tuntutan yang diberikan.

Islam mengajarkan bahwa manusia yang berunsur jasmani dan rohani, yang hidup di dunia menuju akhirat, masing-masing unsur harus memperoleh temapat secara seimbang. Al Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 201 mengajarkan, agar manusia mohon kepada Tuhan untuk diberi kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat serta dipelihara dari siksa neraka. Dan al-Qur’an dalam surat al-qashash ayat 77 mengajarkan, agar manusia mencari perkampungan akhirat dalampemberian Tuhan, tetapi jangan melupakan hidup di dunia.

Hadist Riwayat Bukhari dari Abdullah bin Amr menceritakan bahwa pada suatu hari Rasululllah dating di rumah Abdullah untuk menanjakan berita orang yang mengatakan, bahwa waktu Abdullah habis untuk beribadah, malam harinya untuk mengerjakan shalat dan siangnya untuk berpuasa. Setelah Abdullah membenarkan berita itu, maka Rasul bersabda: “janganlah kau lakukan demikian, shalat, tidur, puasa dan berbukalah kamu; jasadmu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; matamu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; tamu-tamumu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; keluarga juga mempunyai hak yang wajib kau penuhi; mungkin umurmu akan panjang, cukuplah kau berpuasa tiga hari tiap-tiap bulan; setiap kebaikan diberi pahala sepuluh kali lipat, dengan demikian, puasa tiga hari tiap-tiap bulan itu seperti puasa sepanjang masa”. Abdullah merasa amat ringan berpuasatiga hari tiap-tiap bulan itu, dikatakannya kepada Nabi bahwa ia mmasih kuat lebi dari itu, maka Nabi bersabda:”Kalau begitu puasalah tiga hari tiap-tiap minggu”. Abdullah masih merasa ringan, dikatakannya pula kepada Nabi bahwa ia masih kuat lebih dari itu, maka Nabi bersabda:”Kalau begitu puasalah seperti puasa Nabi Daud”. Ditanyakannya bagaimana puasa Nabi Daud itu, oleh Nabi dijawab:”Setengah panjang masa” artinya sehari puasa dan sehari berbuka.

Berdasar ayat al-Qur’an dan hadist Nabi tersebut dapat diperoleh kepastian bahwa pelaksanaan ibadah dalam Islam tidak boleh sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menyangkut kebutuhan jasmaniah dan duniawiah.

Islam mengajarkan agar manusia tidak perlu mengurangi sifat-sifat kodrat kemanusiaannya, manusia perlu bekerja untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya, serta manusia supaya bekerja untuk memajukan dan meningkatkan kehidupan di dunia. Yang harus menjadi pokok perhatian adalah jangan sampai usaha keduniaan melalikan orang dari hubungan dengan Allah, Tuhan yang memberikan hidup. Jangan sampai usaha memenuhi kebutuhan jasmani melalikan usaha memenuhi kebutuhan

ruhaniah. Keinginan memperoleh kesenangan hidup di dunia jangan sampai mendesak kebutuhan membekali diri untuk hidup kekal di akhirat. Orang jangan sampai lupa kepada Allah, karena ia akan lupa hakekat dirinya dan hakekat wujudnya. Dalam hubungan ini, al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 18-19 memperingatkan orang-orang beriman, hendaklah bertaqwa kepada Allah. Masing-masing supaya memeriksa perbekalan apakah yang telah disiapkan untuk menghadapi kehidupan di masa depan, kehendaklah bertaqwa kepada Allah, sungguh Allah Maha mengetahui segala sesuatu yang dilakukan. Jangan hendaknya seperti orang-orang yangb lupa kepada Allah, karena akan melupakan mereka terhadap diri mereka sendiri. Orang-orang yang lupa kepada Allah adalah orang-orang yang fasik.
Prinsip-prinsip yang diuraikan di atas berkaitan dengan kondisi fisik dan psikis manusia, sehingga syari’at ibadah dapat diterima akal, serta, mudah dimengerti dan dilaksanakan. Allah sebagai Pencipta manusia, MahaMengetahui keadaan manusia. Oleh karena itu, dalam pembebanan ibadah keapada manusia, kelihatan sekali bahwa faktor-faktor kesanggupan hamba, naluriyahnya, keadaan kesehatannya, dan juga kesempatannya turut dipertimbangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar