Hampir 2000
tahun yang lalu Plutarchus, seorang ahli sejarah berbangsa Yunani mengatakan,
bahwa mungkin kita menjumpai kota-kota tanpa benteng, raja-raja, kekayaan,
sastra maupun teater-teater, tetapi tidak ada satu kotapun tanpa tempat ibadah
atau penduduknya tidak melakukan ibadah.
Pernyataan Pluctarchus itu amat penting artinya, sebab dengan pernyataan
tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa kerinduan untuk berhubungan dengan
Tuhan merupakan pembawaan kodrat jiwa manusia, serta tumbuh dari dalam
jiwa manusia sendiri. Tetapi suatu kenyataan bahwa temp[at-tempat ibadah yang
terdapat di mana-mana menunjukkan adanya keanekaragaman tentang siapa yang
dituju dengan ibadah tersebut dan bagaimana cara melaksanakannya. Hal ini
membuktikan, bahwa keanekaragaman itu tidak berasal dari satu sumber, melainkan
dari banyak sumber, yaitu manusia yang beraneka macam kecenderungan jiwa dan
cakrawala pemikirannya.
Dari segi ini dapat diketahui betapa pentingnya Allah mengutus
rasul-rasulNya, yaitu untuk mengarahkan pembawaan kodrat jiwa manusia, agar
dapat menunjukkan ibadahnya kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan manusia
dan alam seluruhnya. Muhammad SAW sebagai Rasul Allah yang terahkirdan al-Qur’an
sebagai kitab Allah yang terahkir, memberikan penegasan-penegasan yang amat
jelas, bahwa hanya Allah saja Tuhan yang berhak disembah.
Banyak ayat al-Our’an yang memberi penegasan demikian. Ruh ajaran Islam
adalah Tauhid, meng-esakan Tuhan secara mutlak. Islam menjadi persaksian, bahwa
tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah, sebagai salah satu sendi ajaran
Islam. Dalam Al Qur’an antara lain :
-
surat Al Fatihah ayat 5 mengajarkan, bahwa hanya Allah yang berhak
disembah dan diminta pertolongan.
-
surat An-Nisa’ ayat 36 memerintahkan , agar orang menyembah hanya kepada
Allah dan jangan ada sesuatupun yang disekutukan kepada Allah.
-
Surat
An-Nahl ayat 36 menegaskan, bahwa ajakan beribadah hanya ditujukan kepada Allah
merupakan inti ajaran para Rasul.
Mempersekutukan seseuatu kepada Allah dinamakan syirik. Al-Qur’an menyatakan dalam berbagai surat
dan ayat antara lain :
-
Surat An-Nisa’ ayat 48 menegaskan, bahwa syirik
adalah perbuatan dosa terbesar yang tidak akan memperoleh ampunan Allah.
-
Surat An-Nisa ayat 116 ditegaskan, bahwa orang
yang berbuat syirik adalah orang sesat jauh dari Allah tidak akan memberi ampun
atas dosa syirik itu.
-
Surat Al-Araf ayat 194 dijelaskan, bahwa selain
Allah, semua yang ada di alam ini adalah makhluk-makhluk seperti manusia juga,
yang tidak berhak disembah.
Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang
utama disbanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu apabila
ia menyembah kepada selain Allah, atau menyembah kepada sesama makhluk Allah,
minsalnya malaikat, jin, manusia, binatang, benda-benda langit, kayu, batu, dan
roh-roh berarti menurunkan derajat kemanusiannya yang diberi tempat demikian
tinggi oleh Allah.
Islam mengharamkan binatang yang disembelih dengan maksud dan tujuan untuk
saji-sajian berhala dan sebagainya. Kerbau yang disembelih dengan tujuan untuk
ditanam kepalanya, untuk menjadi
saji-sajian bagi makhkluk halus, ketika akan mulai membangun gedung,
termasuk sembelihan yang haram dan perbuatan itu termasuk syirik. Sedemikian
keras Islam mengajarkan, agar jangan sampai orang terjerumus dalam kemusyrikan.
Hal itu untuk menjaga keselamatan manusia, agar jangan sampai dimurkai Allah
karena menyekutukan Allah dan menyinggung keesaannya.
Manusia dalam sejarahnya telah merusak ajaran agama. Yang menyebabkan
rusaknya agama adalah orang-orang agama sendiri, yaitu para pejabat keagamaan.
Merekalah yang mempunyai konsepsi, bahwa jarak antara manusia dengan Tuhan
adalah jauh. Untuk memanjatkan do’a kepada Tuhan, manusia awam tidak dapat
secara langsung, tetapi harus dengan perantara mereka. Hanya kaum ahli agama
dapat langsung mendekatkan diri kepada Tuhan.
Berdasarkan konsepsi serupa itu, para ahli agama menentukan berbagai macam
syarat dan ikatan-ikatan ibadah. Mereka menentukan temapt khusus untuk
beribadah, serta menentukan perantara dan upacara yang tidak boleh dilanggar.
Pelanggaran terhadap cara-cara yang telah ditentukan mengakibatkan ibadah tidak
sah dan tidak dapat diterima Tuhan. Untuk melakukan ibadah diperlukan berbagai
macam syarat sajian dan sekedar uang untuk para perantara yang memonopoli
urusan keagamaan. Membaca kitab suci menjadi wewenang mereka saja dan demikian
pula membaca do’a.
Kalau dipelajari sejarah agama-agama di dunia, akan dijumpai adanya lembaga
karyawan agama yang antara lain berfungsi sebagai perantara manusia awam untuk
beribadah kepada Tuhan. Sejarah reformasi dunia Kristen yang dipelopori oleh
Martin Luther, motif yang amat menonjol adalah protes terhadap monopoli para
ahli agama dalam dunia khatolik. Islam mengembalikan ajaran agama yang murni
berasal dari wahyu. Hubungan manusia dengan Tuhan tidak perlu dengan perantara
apa dan siapapun. Ibadah dapat dilaksanakan di tempat manapun dan tanpa
upacara-upacara di depan para ahli agama. Khusus mengenai tempat melakukan
ibadah, Islam mengajarkan bahwa bumi Allah adalah masjid bagi kaum muslimin.
Dalam hubungan ini hadist Nabi riwayat Bukhaari-Muslim mengatakan:
“Bumi ini
dijadikan Allah untukku sebagai masjid dan alat bersuci siapapun yang menjumpai
waktu shalat, hendaklah ia mengerjakan di mana ia berada”
Satu-satunya tempat yang dikhususkan untuk melakukan ibadah dengan nilai
tinggi adalah baitullah di Mekkah dan daerah sekitarnya untuk melakukan ibadah
haji. Di samping itu Islam membebaskan manusia dari ikatan sistem perantara. Al-Qur’an dalam berbagai ayat :
-
Surat Al
Baqarah ayat 186 mengajarkan, bahwa Allah dekat kepada hamba-hambaNya, akan
dikabulkan-Nya permohonan orang yang berdo’a kepada-Nya, serta orang supaya
memenuhi ajakan-Nya dan beriman kepada-Nya, agar senantiasa berada di atas
kebenaran.
-
Surat Al
Qaf ayat 16 menegaskan, bahwa Allah amat dekat kepada manusia, lebih dekat dari
urat lehernya.
Islam
mengajarkan bahwa hubungan dengan Allah dengan manusia amat dekat, mengajarkan
pula bahwa manusia adalah makhluk Allah yang terhormat dan mempunyai kedudukan
yang utama di antara makhluk-makhluk Allah yang lain. Oleh karena itu untuk berhubungan dengan Allah,
tidak menentukan perantara apa dan siapapun juga.
Nabi mengajarkan juga, apanila seseorang menghadapi masalah penting dalam
hidupnya di dunia dan memerlukan keputusan yang
tepat, hendaklah ia melakukan shalat dua raka’at, kemudian memanjatkan do’a
yang pokoknya memohon kepada Allah, jika hal yang dilakukan akan mendatangkan
kebaikan dalam kehidupan dunia dan kebaikan di akhirat, dapat dimudahkan
jalannya. Tetapi
jika sebaliknya, mohon dijauhkan dari yang diinginkan dan mohon diberikan
ganti yang lebih baik.
Demikian Allah mendidik hati nurani manusia untuk merasakan, bahwa Allah
benar-benardekat dan selalu beserta dengan manusia di manapun ia berada. Tetapi
hal ini tidak berarti manusia dan Tuhan dapat bersatu, seperti keyakinan para
penganut aliran pantheisme. Islam tidak mengajarkan manuggaling kawula gusti.
Tuhan tidak pernah menjelma pada manusia dan manusia dituntut untuk mempunyai
sebagian sifat-sifat Ketuhanan.
A. PRINSIP-PRINSIP IBADAH
1. Ada Perintah dan Ketentuan
Dalam melakukan ibadah kepada Allah, manusia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menentukan, bahkan sebaliknya manusia sangat terikat pada
ketenuan-ketentuan yang diberikan Allah dan Rasulnya. Dalam bidang mu’amalah
atau keduniaan terdapat kelonggaran yang demikian luas bagi manusia, sesuai
dengan kaedah fiqhiyyah yang menyatakan “hukum yang terkuat dari segala
sesuatu adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang mengharamkan”. Berlainan
halnya dengan bidang ibadah, karena terdapat ketentuan manusia, sesuai dengan
bunyi kaedah fiqhiyyah “ Hukum pokok terhadap ibadah adalah bathal (tidak
boleh dikerjakan), kecuali ada dalil yang memerintahkan”.
Untuk ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji dengan jelas terdapat perintah
dan ketentuan dalam al-Qur’an. KemudianRasul sebagai figure yang menerima
berbagai perintah ibadah, yang tentu saja sebagai pihak yang paling tahu
mengenai isi dan maksud perintah, selanjutnya memberikan petunjuk kepada umat
tentang bagaimana cara melaksanakannya. Petunjuk Rasul ada yang diberikan dalam
bentuk fi’il atau perbuatan dan ada yang berbentuk qauli atau ucapan.
Ibadah shalat ditegaskan kewajibannya antara lain melalui firma Allah
daqlam surat al-Ankabut ayat 45 :“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar”. Setelah itu
Rasulullah membuat ketentuan-ketentuan,
antara lain mengenai perincian waktu pelaksanaan, macam-macam,
syarat-syarat, dan rukunnya. Beliau bersabda : “ Shalatlah kamu sebagaimana
kamu melihatku melaksanakan shalat”.
Ibadah puasa diwajibkan melalui firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
183 : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”. Waktu untuk melaksanakan ibadah puasa juga
ditetapkan Allah, yaitu pada setiap bulan Ramadhan, sebagaimana tersebut dalam
surat al-Baqarah ayat 185 : “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan
ramadhan, bahwa yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjukbagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu barang siapa di antara kamuhadir di bulan
itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Adapun ketentuan tentang syarat puasa, yang
menentukan puasa sunnah dan lain sebagainya ditentukan oleh Rasul.
Ibadah zakat, ketentuan kewajiban zakat dijelaskan Allah dalam al-Qur’an
dalam surat Taubah ayat 103: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. Ada delapan golongan (ashnaf delapan)
penerima zakat, yang ditentukan dalam surat Taubah ayat 60: “Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekan budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.
Ketentua waktu membayar zakat, kreteria orang yang diwajibkan membayar
zakat, kadar yang harus dikeluarkan, jenis-jenis barang yang dikenai zakat dan
lain-lainnya, dijelaskan oleh Rasul.
Ibadah haji diwajibkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
194: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”. Ketentuan
ibadah haji hanya diwajibkan atas orang-orang yang kuat fisiknya, sehat
mentalnya, dan cukup keuangannya untuk pergi dan pulang, diketentuan dari
firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 97: “Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah”. Sedangkan ketentuan mengenai bagaimana cara
mengerjakan haji, seperti thawaf, sa’I, melontarkan jumrah, wuquf, dan hal-hal
yang menjelaskan pantangan dalam menunaikan ibadah haji, pakaian yang dipakai
ketika berhaji dan lainlainnya, dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Ambilah
olehmu dari aku cara cara melaksnakan ibadah haji”.
Berdasarkan
uraian di atas dapat diketahui, bahwa seluruh ibadah yang diwajibkan memiliki
dasar-dasar yang kuat. Ibadah-ibadah sunnat, seperti shalat sunnat dan puasa
sunnat juga demikian halnya. Dengan demikian jelaslah, dalam bidang ibadah
terdapat satu prinsip, bahwa ibadah yang sah dan boleh dilakukan adalah ibadah
yang memang terdapat perintah dan ketentuan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2. Meniadakan Kesukaran
Keseluruhan ibadah dalam syari’at Islam tidak ada yang menyukarkan dan
memberatkan mukallaf atau orang yang dikenai kewajiban, apabila yang tidak
mungkin dilaksanakan. Semua ibadah berada dalam batas-batas kewajiban dan
sejalan dengan kadar kesanggupan manusia. Prinsip kedua ini diterangkan Allah
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185: “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Perintah mengerjakan
shalat fardhu, walaupun diwajibkan dalam jumlah lima kali dalam satu hari satu
malam, tidak sampai mengakibatkan timbulnya kesukaran bagi orang yang
mengerjakan. Seorang karyawan tidak mungkin terganggu pekerjaannya dengan
meluangkan waktu sekitar sepuluh menit untuk mengerjakan shalat. Seorang
pedagang tidak akan merugi dan kehilangan pendapatan, karena mengerjakan
shalat. Bahkan seorang pengemudi jarak jauh tidak akan terganggu perkerjaannya
membawa penumpang, apabila ia mengerjakan shalat. Apalagi ajaran Islam
memberikan ruskshah atau keringanan kepada mereka untuk mengerjakan shalat
secara jama’ atau menggabungkan dua shalat pada satu waktu.
Demikian juga halnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah puasa yang
mewajibkan manusia menahan makan, minum, dan seks sejak terbit matahari sampai
terbenamnya matahari. Pada umumnya tidak menimbulkan kesukaran bagi orang yang
melakukan puasa, apalagi dengan disunanatkan makan sahur. Dalam hal ini
Rasulullah bahkan mengatakan, bahwa “berpuasa itu mendatangkan kesehatan” dan
sabda tersebut telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu kedokteran.
Dalam hal zakat, kadar harta yang wajib dikeluarkan zakatnya oleh muzakki
atau orang yang berzakat rata-rata hanya 2,5 % dari harta yang diperoleh.
Ibadah zakat tidak menyebabkan timbulnya kesukaran bagi muzakki dan tidak akan
mengakibatkan menjadi miskin atau jatuh pailit. Allah menjanjikan untuk mereka
yang berzakat ibarat menanam satu biji yang akan memunculkan 7 cabang dantiap
cabang akan membuahkan 100 biji dalam surat al-Baqarah ayat 261. Dalam
kenyataan, mereka yang rajin dan tertib menunaikan ibadah zakat, justru
mendapat rezki yang lebih melimpah dan memperoleh banyak kemudahaan.
Dalam bidang haji, tidak adanya kesukaran lebih jelas lagi, karena yang
terkena kewajiban untuk mengerjakan haji hanya orang-orang yang memiliki
tingkat kemampuan sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesukaran berati bagi
mereka dalam pelaksanaannya.
3. Tidak Banyak yang dibebankan
Prinsip yang
ketiga ini mempunyai hubungan dengan prinsip yang kedua di atas, karena apabila
banyak yang dibebankan, tentu akan berakibat timbulnya kesukaran. Yang dimaksud
dengan prinsip tidak banyak yang dibebankan adalah bahwa pembebanan dalam syari’at
Islam jika dibandingkan dengan waktu dan keadaan, sesungguhnya tidak dapat
dikatakan banyak. Yang mendasari prinsip ini adalah firman Allah surat
al-Maidah ayat 101:
“hai orang-orang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an itu sedang
diturunkan, nicaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang
hal-hal itu. Allah Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang”.
Berdasarkan ayat ini dapat disimpulkan, bahwa Allah memandang telah memadai
hukum-hukum yang diterangkan, dalam pengertian Allah tidak berkehendak untuk
memperbanyak hukum, karena hal ini akan menyusahkan hamba-hamba-Nya.
Apabila waktu yang diperlukan untuk mengerjakan satu kali shalat
diperkirakan 12 menit, maka untuk mengerjakan limaka kali shalat membutuhkan
selama satu jam. Oleh karena itu waktu
yang diperlukan untuk mengerjakan shalat hanya satu jam dari 24 jam sehari yang
dianugrahkan Allah kepada umat manusia. Demikian juga dengan ibadah puasa hanya
satu bulan dari 12 bulan, sedangkan ibadah zakat hanya 2,5 % atau 1/40 dari
perolehan, dan haji ibadah haji hanya satu kali dalam seumur hidup bagi orang
yang mampu.
Secara umum dapat dimukakan, bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan
ibadah disyaratkan setelah peristiwa hijrah. Hal ini erat sekali kaitannya
dengan ayat-ayat al-Qur’an yang turun setelah hijrah, yaitu mayoritas berisi
ayat-ayat hukum. Di antara ayat-ayat hukum tersebut berkaitan dengan ibadah.
Namun demikian sebagian ibadah telah disyaratkan sebelum peristiwa hijrah,
misalnya shalat. Para ulama berpendapat, bahwa shalat pada mulanya disyaratkan
hanya dua rakaat waktu pagi dan waktu sore, seperti yang dijelaskan dalam
firman Allah surat al-Makminuun ayat 55: “Dan bertasbihlah seraya memuji
Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”. Shalat lima waktu diwajibkan sesudah
peristiwa mi’raj. Ibadah thaharah disyaratkan sejalan dengan pensyaratan
shalat, karena thaharah merupakan syarat sahnya pelaksanaan shalat.
Allah telah mewajibkan kepada muslimin berpuasa satu bulan penuh pada bulan
Ramadhan setiap tahunnya. Puasa diwajibkan kepada kaum muslimin pada tahun 2
hijrah. Setiap umat beragama mempunyai tempat-tempat tertentu yang dipergunakan untuk beribadah dan mendekatkan
diri kepada Tuhan. Orang-orang Arab sebelum Islam mempunyai tempat ibadah,
yaitu Baitul Haram yang didirikan oleh nenek moyang mereka, nabi Ibrahim a.s
dan nabi Ismail a.s. Oleh karena itu telah ada tradisi bangsa Arab untuk
melaksanakan haji sejak zaman nabi Ibrahim dan nabi Ismail sampai datangmnya
Muhammad yang diutus Allah menjadi Rasul. Ibadah haji yang dilakukan
orang-orang Arab kemudian berubah dan tidak lagi sesuai dengan apa yang
diajarakan nabi Ibrahim. Mereka telah mempersekutukan Allah dengan berhala yang
mereka letakan di samping Baitullah, di Safa, dan Marwa, yang mereka anggap
sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka tidak lagi
mengagungkan nama Allah, tetapi telah mengagungkan nama selain Allah.
Pada waktu Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasuldan bertugas meluruskan
kembali agama yang dibawa nabi Ibrahim dan mengajar manusia untuk tunduk dan
patuh menjalankan perintah Allah serta menghacurkan syirik, Allah tetap
menetapkan Baitullah sebagai tempat untuk menjalankan haji dan umrah.
Ibadah haji difardukan pada tahun 6 hijarah. Pada waktu itu nabi Muhammada
pergi ke Baitullah untuk menjalankan umrah, tetapi terhalang oleh musuh. Pada
tahun 7 hijarah nabi pergi lagi melaksanakan umrah. Pada tahun 9 hijarah Abu
Bakar pergi melaksanakan haji bersama kaum muslimin. Nabi Muhammad pergi haji
bersama seluruh kaum muslimin pada tahun 10 hijrah yang dikenal dengan haji
Wada’.
Islam memandang zakat adlah ibadah yang sangat penting dan wajib
dilaksanakan sama halnya dengan shalat. Al-Qur’an menyebut shalat dalam 82
ayat, sedang zakat 31 ayat, dan 22 ayat diantaranya menyebutkan shalat dan
zakat sedcara beriringan. Hal ini menunjukkan, bahwa mengeluarakan zakat sama
pentingnya dengan ibadah shalat.
Perintah ibadah dalam ajaran Islam telah ditetapkan dalam nash dan
bersifat tetap. Ibadah tidak terpengaruh oleh perkembangan masa dan perbedaan
tempat, serta wajib diikuti tanpa harus terlebih dahulu menyelidiki makna dan
maksudnya. Masalah ibadah merupakan sesuatu yang tidak ada imbangannya dalam
hukum positif. Hukum positif tidak membahas hubungan makhluk dengan Tuhannya
atau hubungan micro cosmos dengan macro cosmos. Dalam Islam masalah ibadah
mendapat perhatian yang sangat khusus dan penting. Ibadah merupakan hakikat dan
tujuan hidup manusia, seperti yang dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surat
az-Zariyat ayat 56: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan
supaya mereka menyembahku”.
Menyembah Allah
SWT bearti memusatkan penyembahan kepada Allah semata-mata, tidak ada yang
disembah dan tempat mengabdikan diri kecuali kepada Allah saja.Pengabdian
berarti penyerahan diri secara mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara lahiriah
dan batiniah kepada kehendak ilahi. Hal itu dilakukan dengan kesadaran, baik
sebagai perseorangan maupun secara berkelompok.
Oleh karena
itu, semua kegiatan manusia baik yang bercorak ubudiah maupun muamalat harus
dikerjakan dalam rangka pengabdian kepada Allah dan mencari keredlaannya. Suatu
pekerjaan bernialai ibadah sangat tergantung dari niatnya. Suatu bantuan yang
diberikan kepada seseorang betapapun kecilnya bantuan itu, tetapi dilakukan
dengan ikhlas dan semata-mata mengaharapkan ridla Allah, maka menjadilah
bantuan itu sebagai ibadah. Walaupun pekerjaan yang dilakukan itu adalah
shalat, kalau dikerjakan hanya karena mengharap pujian dari manusia, maka
shalatr itu tidak mendapat nilai ibadah.
Oleh karena itu adanya ibadah yang diajarkan dalam Islam tidak berarti
harus menjauhi hidup duniawi. Islam melarang manusia untuk melakukan ‘uzlah yaitu menjauhkan diri dari gejolak masyarakat.
Tetapi Islam menuntutagar kehidupan manusia dapat harmonis dan seimbang,
seperti dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77 : “Dan carilah
pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan nasibmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang berbuat kerusakan”.
Islam mengajarakan bahwa kehidupan duniawi bukanlah tujuan. Demikian pula
hasil kegiatan di muka bumi bukanlah tujuan yang hakiki. Keridlaan Allah yang
memungkinkan tercapainya hidup dan kehidupan duniawi yaitu kehidupan ukhrawi,
yang puncak kebahagiannya terletak dalam pertemuan dengan Allah merupakan arti
ibadah sebagai tujuan hidup.
Suatu kehidupan yang bertujuan ibadah, akan memberikan ketenangan hidaup
dan kerja. Apapun corak lapangan hidupnya akan selalu membawa ketenangan jiwa
para pelakunya sebagai tanda syukur nikmat. Syukur nikmat bearti pula tetap
bekerja meningkatkan prestasi dengan harpan akan datangnya hari depan yang
lebih cerah dan lebih indah. Selain itu seorang yang bekerja atau menjalankan
tugas sehari-hari dengan niat ibadah, maka segala pekerjaanya selalu dalam
batas-batas keredlaan Allah, sehingga jauh dari segala kecurangan dan hal-hal
yang tidak halal. Oleh karena itu orang yang kerjanya bernialai ibadah akan
membawa kebaikan dan keberuntungan tidak hanya bagi kehidupan pribadinya,
tetapi juga bagi kehidupan bersama di masyarakat.
Sebaliknya apabila suatu kehidupan tidak bertujuan ibadah, maka seseorang
akan mudah mengalami putus asa. Hidupnya di dunia ibarat sebuah perahu yang
tengah berlayar di samudera luas, yang dipermainkan gelombang laut tanpa kemudi
dan jangkar serta tidak punya pedoman.
Ia akan mudah hanyut bahkan tenggelam. Oleh karena itu orang tidak
mengetahui tujuan hidup, dalam pekerjaanya akan mudah terlibat dalam kecurangan
dan kejahatan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ibadah dalam Islam merupakan
sarana untuk menyatakan syukur kepada Allah, yang telah memberikan kurnia
kepada manusia dengan berbagai nikmat yang berkaitan penciptaan phisik dan
psikis atau dalam bentuk penyediaan segala kebutuhan umat manusia yang beraneka
ragam jumlah, jenis, dan rasanya.
Manusia diciptakan Allah yang paling mulia dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lainnya. Betapa besarnya nikmat dan kurnia yang diterima
manusia tak seorangpun yang mampu menghitungnya. Oleh sebab itu sudah
selayaknya manusia bersyukur dan berbakti kepada Pencipta Yang Maha Agung lagi
Maha Kuasa, dengan melakukan ibadah dengan tertib sesuai dengan tuntunan yang
telah diberikan. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia dalam penciptaan
dijelaskan Allah dalam surat at-Tiin ayat 4:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya”. Sedangkan dalam surat al-Isra’ ayat 70: “Sesungguhnya telah kami
muliakan anak-anbak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kurnia
yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah kami ciptakan”.
Manusia diciptakan Allah bukan hanya sekedar untuk hidup di dunia, kemudian
mati tanpa pertanggung jawaban. Manusia diciptakan Allah di dunia untuk
mengabdi (beribadah) kepada Allah. Wujud pengabdian tersebut adalah dalam
bentuk semua amal perbuatan yang berhubungan dengan nilai atau pelaksanaan
amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardl, yaitu untuk memakmurkan
bumi dan segala isinya.
Membuat kemakmuran di bumi merupakan tugas utama manusia dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang diredhoi Allah. Karena begitu berat dan ulianya
tugas yang diberikan kepada manusia, maka manusia diciptakan Allah dalam bentuk
konstruksi yang sangat serasi dan bagus. Oleh sebab itu manusia harus
mempertanggung jawabkan semua amanah yang dipegangnya. Dalam hal ini Allah
menegaskan dalam beberapa surat al-Mukminuun ayat 110:
”Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami
menciptakan kamu secara main-main(saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan
kepada kami”. Dalam surat
Bayyinah ayat 5 :”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya”.
Allah Maha Mengetahui tentang kejadian dan tugas manusia, maka Allah
memerintahkan kepada manusia supaya tetap berkomunikasi dengan Allah. Dengan ibadah komunikasi antara Pencipta
dengan makhluknya akan selalu terjaga. Terjaganya komunikasi anatara manusia
dengan Tuhan menyebabkan hidup akan terpelihara dari dosa. Orang seperti inilah
yang dicita-citakan Islam, yang disebut dengan prediket taqwa. Hal ini
pulalahyang menjadi hakekat ibadah dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan
al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 21 : “Hai manusia, sembahalah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.
Di samping itu
ibadah juga merupakan pernyataan syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniai
manusia dengan berbagai nikmat yang tiada terhingga, sehingga jumlah dan
macamnya tak mungkin dapat dihitung oleh manusia, baik dari segi penciptaan
fisik manusia yang begitu sempurna maupun dalam penyediaan segala kebuthan
hidup manusia.
Dengan demikian makin jelas, bahwa tujuan ibadah di samping menjadi sarana
untuk berkomunikasi dengan Tuhan., juga merupakan cara untuk menyatakan syukur
kepada Tuhan atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan kepada manusia.
B. Macam Ibadah
Macam ibadah
ditentukan berdasarkan sudut pandang yang dipergunakan unutk menilainya
1. Secara umum
ibadah dikelompokkan menjadi :
a.
Ibadah
‘aammah atau ibadah qhairu mahdllah (non
ritual) yaitu semua perbuatan positif yang dilakukan dengan niat baik dan
semata-mata keridlaan Allah. Teknis pelaksanaan ibadah ini secara operasional
diserahkan kepada orang yang akan melakukannya, dengan memperhatiakan situasi
dan kondisinya. Dalam istilah lain dapat dikatakan seluruh amalan yang dizinkan
Allah.
b.
Ibadah
Khasshah atau ibadah mahdllah (ritual), yaitu
segala kegiatan yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash al-Qur’an dan
as-Sunnah. Ibadah dalam artian khusus ini tidak menerima perubahan baik berupa
penambahan ataupun pengurangan, misalnya shalat. Shalat dalam ajaran Islam
biasanya digolongkan dalam ibadah khusus, karena itu cara melaksanakannya
termasuk jumlah rakaatnya tidak dibenarkan untuk ditambah atau dikurangi. Jika
terdapat penambahan atau pengurangan, maka hal itu dinamakan bid’ah, yaitu
mengada-ada.
2. Ditinjau dari sudut pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua
bagian yaitu :
a.
Ibadah
Jasmaniah Ruhiyah, yaitu ibadah yang dalam
pelaksanaannya memerlukan kegiatan phisik, disertai jiwa yang tulus atau ikhlas
kepada Allah. Contohnya adalah shalat yang terdiri beberapa perbuatan dan
perkataan dengan disertai kekhusyu’an. Kegiatan shalat memerlukan gerak anggota
badan, ucapan tertentu dan keikhlasan. Tanpa hal itu semua, shalat yang
dilakukan dianggap tidak sah.
b.
Ibadah
Jasmaniah Ruhiyah Maaliyah, yaitu ibadah yang
pelaksanaannya memerlukan kekuatan phisik, mental yang membaja, dan materi.
Contohnya adalah ibadah haji, haji dalam Islam hanya diwajibkan kepada orang
yang mempunyai kemampuan (istitha’ah). Kemampuan meliputi kemampuan phisik,
mental, dan harta. Kekuatan phisik diperlukan bagi mereka yang ingin melalkukan
ibadah haji. Phisik yang lemah menyebabkan orang tidak mampu melaksanakan
ibadah haji dengan baik dan sempurna. Tanpa kesiapan mental, manusia tidak akan
sanggup untuk melakukan haji dengan baik. Di samping itu tanpa materi, terutama
bagi mereka yang jauh dari mekkah, ibadah haji tidak dapat dilakukan.
3.
Ditinjau dari sudut kepentingannya, ibadah dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu :
a.
Ibadah
Fardy, yaitu ibadah yang manfaatnya hanya dapat
dirasakan oleh orang yang melakukan saja dan tidak ada hubungannya dengan orang
lain. Contohnya adalah shalat dan shaum merupakan ibadah yang berhubungan
langsung antara manusia dengan Allah. Orang yang melakukan shalat diharapkan
dapat menjaga dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Di samping itu orang yang
puasa diharapkan dapat benar-benar menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah.
Kedua nilai itu tidak akan diperoleh orang lain, kecuali orang itu yang
melakukannya sendiri.
b.
Ibadah
Ijtima’I, yaitu ibadah yang manfaatnya di samping
dirasakan oleh orang melakukan juga dapat dirasakan oleh orang yang lain.
Contohnya adalah ibadah zakat, dalam ajaran Islam mengajarkan, bahwa zakat
merupakan upaya untuk membersihkan harta seseorang dan sekaligus dapat
berfungsi sosial, yaitu untuk mengurangi kesenjangan antara si kaya dengan si
miskin atau orang yang tidak mampu. Yaitu antara zakki dengan mustahiq. Dengan
mengeluarkan zakat berarti ikut meringankan beban orang lain, artinya sembari beribadah
orang lain dapat merasakan manfaatnya.
1.
Dilihat
dari sudut waktu pelaksanaannya, ibadah dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
:
Ibadah
Muwaqat, yaitu ibadah yang waktu pelaksanaannya sangat terikat dengan
waktu-waktu yang telah ditentukan Allah atau RasulNya. Apabila dilaksanakan di
luar waktunya, maka nilainya menjadai tidak ada atau menjadi tidak sah. Mislnya
ibadah shalat, setiap shalat mempunyai waktu tertentu, artinya setiap shalat
harus dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Orang yang akan mendirikan
shalat harus mengetahui, bahwa pada saat ini telah masuk waktu shalat yang
didirikannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 103 : “ Sesungguhnya
shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”. Kalau diperhatikan penjelasan hadist yang berkaitan dengan waktu
shalat, misalnya dzuhur adalah mulai dari tergelincir matahari sampai dengan
bayang-bayang sama panjangnya dengan benda yang didirikan dengan tegak lurus.
Hadist Nabi menyatakan:
“ Dari
jabir bin Abdullah, bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril a.s. lalu Jibril
berkata kepadanya: Berdirilah, lalu shalatlah. Kemudian Nabi shalat dzuhur
ketika matahari sudah tergelincir”.
“ Dari
Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jibril a.s. mengimami aku di
Baitullah dua kali. Lalu ibnu Abbas menyebutkan seperti hadist Jibril, tetapi
ia berkata di dalam hadist itu: dan Nabi shalat yang kedua kalinya ketika
bayangan tiap-tiap sesuatu menjadi sama. Imam Tarmidzi berkata: Hadist ini
hasan.
Masalah timbul ketiaka perkembangan
teknologi dan transportasi meningkat. Timbul pertanyaan. A. Bagaimana orang
shalat di kutub yang matahari terbitnya 6 bulan sekali?. B. Bagaimana shalat
dipesawat ruang angkasa yang mataharinya terlihat setiap 5 menit. Untuk
pertanyaan B. sudah ada jawabannya dari ulama Mekkah ketika putra mahkota Saudi
ikut terbang ke angkasa, maka ia yang menyuruh shalat mengikuti shalat di
Mekkah. Apakah jawaban itu juga dapat digunakan untuk mereka yang tinggal di
kutub? Jika ini dignakan, maka waktu shalat bagi orang di Eropa juga harus
mengikuti shalat di Mekkah atau di daerah tropis di bawahnya. Demikian juga hal
nya dengan ibadah puasa Ramadhan.
4.2. Ibadah Ghairu Muwaqat, yaitu ibadah yang waktu pelaksanaanya
tidak tergantung dengan waktu-waktu tertentu, artinya selama diizinkan Allah,
maka hal itu dapat dilakukan. Misalnya untuk bertasbih dan zikir kepada Allah,
hal itu dapat dilakukan kapan saja. Begitu juga untuk bersedekah tidak
ditentukan waktunya. Hanya waktu-waktu yang diutamakan
tentu saja ada, misalnya sadaqah sangat afdhal apabila dilakukan
pada bulan Ramadhan seperti yang dijelaskan hadist Nabi: “diriwayatkan dari
Anas katanya, ketika Rasulullah ditanya kapankah waktu yang paling baik/ paling
afdhal melakukan sedeqah. Jawab Rasulullah: sedeqah di bulan Ramadhan. (H.R.
at-Tarmizi).
5. Dilihat dari sudut status
hukumnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian yaitu :
5.1. Ibadah wajib, yaitu ibadah yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim dam
muslimah. Apabila tidak dikerjakan, maka yang bersangkutan akan mendapat dosa,
misalnya shalat, puasa dan zakat.
5.2.
Ibadah Sunnah, yaitu ibadah yang sebiknya dilaksanakan. Apabila dilaksanakan
yang bersangkutan mendapat ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan yang
bersangkutan tidak mendapatkan dosa, misalnya shalat rawatib dan dhuha.
C. TUJUAN DAN HIKMAH IBADAH
Allah telah
menjadikan manusia sebagai khalifahtullsh fil Ardhi dengan missi memimpin,
mengelola, memakmurkan, dan memelihara keselamatan alam semesta. Untuk
kepentingan tersebut Allah menurunkan Agama Islam, agar dengan berpegang pada
ajaran Islam, manusia mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya sesuai dengan
maksud Allah. Dengan tugas dan fungsi serta tanggung jawab manusia seperti
tersebut di atas, Allah menjadi manusia dalam bentuk yang paling sempurna lagi
dimuliakan.
Manusia terdiri
dari dua unsure, yaitu unsure jasmani dan unsure rohani. Kedua unsure tersebut
harus berkembang dengan baik dan seimbang. Oleh karena itu harus mendapat
perhatian dan pembinaan yang seimbnag, Unsur jasmani bersifat materi,
kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat maretial, seeperti sandang,
pangan dan papan, Sedang unsure rohani bersifat immateri, oleh karena itu
kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat immaterial, sepertti ajaran
akhlak, kesenian dan agama. Manusia yang dalam kehidupannya terlalu
mementingkan materi, maka ia akan menjadi materialistic atau serba materi. Sedangkan manusia yang hanya mementingkan
immateri, maka ia kan menjadi immaterialistik atau spiritualistic.
Manusia mengalami dua bentuk kehidupan, yaitu kehidupan pertama di dunia
dan kehidupan kedua di akhirat. Kehidaupan di dunia adalah sementara yang
sering disebut dengan istilah fana, sedang kehidupan di akhirat adalah abadi
atau kekal. Kehidupan di akhirat merupakan lanjutan dari kehidupan di dunia dan
bagaimana nasib seseorang di akhirat akan ditentukan oleh bagaimana kualitas
hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam mengandung ajaran yang berwawasan
dunia akhirat dan tidak memisahkan antara dunia dengan akhirat.
Allah menjadikan manusia bukan sekedar untuk hidup di dunia, kemudian mati
tanpa pertanggung jawab, melainkan diciptakan untuk senantiasa tunduk dan patuh
kepada kehendak Allah dan Ia akan meminta pertanggung jawaan manusia. Hal ii
dapat difahami dalam firman Allah dalam surat al-Mukminuun ayat 110:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya
kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami”.
Islam adalah agama Rahmatan Lil alamin atau rahman bagi seluruh
alam.Oleh karena itu, diperlukan manusia yang bertaqwa atau patuh pada
segenapperintah dan larangan Allah. Mereka itu tidak lain adalah manusia bersih
hatinya dan baik akhlaknya. Manusia seperti inilah yang dapat memberikan
kebaikan-kebaikan, sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat
dilihat dan dirasakan. Pada hakekatnya hal itu merupakan tujuan agama Islam.
Ibadah dalam Islam merupakan wasilah atau perantara dan sama sekali bukan
qhayah atau tujuan. Oleh karena itu Islam rahbanah dan bukan pula agama yang
mengajarkan untuk berlebih-lebihan mengajarkan ibadah. Adapun tujuan ibadah
secara rinci adalah :
1. Untuk membina rohani
Ibadah yang terdapat dalam syari’at Islam, yaitu shalat, puasa, zakat dan
haji, selain untuk menyatakan ketaqwaan kepada Allah, juga bertujuan untuk
menjadaikan rohani manusia senantiasa tidak lupa pada Allah, bahkan supaya
senantiasa dekat dengan Allah. Perasaan dekat dengan Allah akan mempertajam
kebersihan jiwa, sehingga dapat mencegah hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai
Ketuhanan dan hokum yang berlaku dalam memenuhi kebutuhan kehidupan manusia.
Dalam shalat terdapat dialog antara manusia dengan Allah. Dalam keadaan
berhadapan dengan Allah, manusia memuja kemahabesaran dan kemahasucian Allah,
menyerahkan diri kepada Allah, memohon supaya dilindungi dari godaan syaitan,
memohon ampunan dari dosa yang telah dilakukan, memohon supaya diberi petunjuk
ke jalan yang benar serta dijauhkan dari kesesatan dan berbagai perbuatan yang
tidak senonoh dan lain-lain sebagainya. Ringkasnya dalam dialog dengan Allah,
seseorang memohon kiranya Allah membersihkan rohaninya. Jika seseorang
melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam denagan penuh keikhlasan
menyampaikan permohonan tersebut, diiringi dengan upaya yang sungguh-sungguh ke
arah itu, maka rohaninya menjadi bersih dan ia akan terjauh dari
perbuatan-perbuatan buruk dan jahat.
Dalam melaksanakan puasa seseorang diwajibkan menahan hawa nafsu makan,
minum, dan seks. Di samping itu ia juga harus menahan rasa amarah, keinginan
memaki orang, bertengkar, dan perbuatan-perbuatan kurang baik lainnya.
Pembinaan jasmani dan rohani bersatu dalam usaha membersihkan jiwa manusia.
Dalam bulan Ramadhan orang diajurkan pula untuk banyak mendirikan shalat dan
membaca al-Qur’an. Semuanya itu membawa orang pada keadaan dekat dengan Allah.
Pembinaan yang seperti ini disempurnakan dengan pernyataan kasih saying kepada
para dhu’afa atau anggota masyarakat yang lemah kedudukan ekonominya dengan
mengeluarkan zakat fitrah.
Dalam mengerjakan kewajiaban menunaikan ibadah haji adalah orang yang
berkunjung ke Baitullah (rumah Allah) dalam arti rumah peribadatan yang pertama
didirikan atas perintah Allah di dunia. Sebagaimana halnya dalam mendirikan shalat, orang yang mengerjakan haji
juga merasa dekat sekali dengan Allah. Bacaan-bacaan yang diucapkan pada waktu
mengerjakan haji juga merupakan dialog antara manusia dengan Allah.Ibadah haji
merupakan usaha pembersihan rohani disertai dengan pembinaan jasmani dalam bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal
yang sangat sederhana. Selama mengerjakan ibadah haji perbuatan-perbuatan tidak
baik harus dijauhi dan ditinggalkan. Dalam ibadah haji terdapat pula latihan
mempertajam rasa persaudaraan antara sesama manusia, karena dalam ibadah haji
tiada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin dan antara orang yang
berkedudukan tinggi dengan orangberkedudukan rendah.
Dalam hal kewajiban membayar zakat, walaupun ia mengambil bentuk penyerahan
sebagian harta yang diperoleh untuk menolong fakir miskin dan orang-orang yang
sedang berada dalam kesusahan hidup, tetapi juga merupakan upaya pembinaan
rohani. Dalam hal ini rohani manusia dididik untuk menjauhkan kerakusan dan
ketamakan pada harta benda, serta diarahkan untuk mempunyai perasaan kasih,
murah hati, dan suka menolong anggota masyarakat yang berada damlam kekurangan.
Dengan demikian akan terbina pula rasa persaudaraan.
2. Untuk Membina Akhlak
Akhlak atau budi perkerti luhur merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat, bahkan ia merupakan factor penentu kebaikan dan
ketentraman suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran jika hal itu banyak
disinggung Allah dalam al-Qur’an. Selain itu, Rasulullah sendiri menyatakan
bahwa diutusnya beliau ke dunia adalah untuk menyempurnakan pedoman dan ajaran
akhlak. Rasulullah pernah mengatakan, bahwa Allah telah menetapkan Islam
sebagai agamamu, maka hiasilah agama itu dengan akhlak yang mulia dan hati yang
pemurah. Di samping itu Allah mengakui, bahwa Rasulullah adalah orang yang
memiliki akhlak yang luhur dan mulia.
Berbagai ibadah dalam Islam yang telah diwajibkan Allah kepada umat
manusia, juga bertujuan untuk membina akhlak manusia, Ibadah shalat sangat erat
kaitanya dengan upaya pembinaan akhlak. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Ankabut ayat 45:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah orang dari
perbuatan-perbuatan keji dan munkar”.
Oleh karena itu, melaksanakan shalat dengan tertib, teratur, khusyu dan
dilandsasi dengan nilai yang tulus karena Allah, akan dapat membentengi orang
dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia. Shalat yang tidak mampu menghindarikan
dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia adalah shalat yang memiliki nilai
rendah. Shalat yang seperti itu selama telah dipenuhi syarat dan rukunnya tetap
sah hukumnya, hanya saja belum berhasil mendekatkan pelakunya dengan Allah,
sehingga belum dapat menghilangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan
Allah.
Demikian pentingnya kedudukan shalat dalam kaitanya dengan soal akhlak,
sehinggga Rasulullah secara agak terperinci mengaitkan dengan sifat-sifat
rendah dari pada Allah, tidak sombong, mengasihi orang miskin dan lain-lainnya
melalui sebuah hadist qudsy sebagai berikut :
“ Shalat yang kuterima
adalah shalat yang menjadikan pelakuknya berendah diri di hadapan kebesaran-Ku,
tidak berkeras menentang perintah-Ku, melainkan senantiasa ingat kepada-Ku dan
menaruh kasih saying kepada kaum fakir miskin, orang terlantar dalam
perjalanan, wanita yang ditinggal mati suaminya, dan orang yang ditimpa
kesusahan”.
Shalat yang dapat membuat pelakunya terjauh dari macam-macam sifat negatif
adalah shalat yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Orang yang khusyu dalam
mendirikan shalat dijamin Allah akan memperoleh keberuntungan.
Zakat yang merupakan suatu tindakan memberikan sebagian harta yang dimiliki
untuk kepentingan masyarakat atau orang lain, sebagaimana halnya dengan
ibadah-ibadah lainnya juga berkaitan dengan upaya pembinaan akhlak. Menurut
firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103: “Ambilah zakat dari sebagaian harta mereka, denagan zakat itu, kamu
membersihkan dan mensucikannya”.Jiwa pelaku zakat yang telah terbina akan
melahirkan akhlak yang baik.
Ibadah puasa, sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an dalam surat
al-Baqarah ayat 183 menjelaskan eratnya kaitan puasa dengan pembinaan akhlak
karena yang hendak dituju dengan ibadah puasa adalah terciptanya manusia yang
bertaqwa, yakni manusia yang senantiasa mentaati perintah dan larangan Allah,
manusia yang senantiasa melalkukan perbuatan baik dan menjauhiperbuatan buruk
dan jahat, sebagaimana diungkap dalam hadist Rasulullah:
“Dari Abu Huraurah r.a. berkat, Rasulullah SAW bersbda: Apabila salah
seorang di antara kamu sekalian itu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan
janganlah ribut-ribut. Jika ada seseorang mencaci maki atau mengajak berkelahi,
maka hendaklah ia berkata: sesungguhnya saya sedang berpuasa:.
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasululllah SAW bersabda: Barangsiapa
tidak mau meningglkan kata-kata bohong dan selalu memperbuatnya, maka Allah
tidak memperdulikan puasanya itu dimana ia telah susah payah meningglkan makan
dan minum”.
Puasa yang dapat menghindarkan pelakunya dari bermacam-macam akhlak yang
buruk adalah puasa yang dilakukan dengan menahan sedemikian rupa nafsumakan,
minum dan seks, serta menghentikan kerja inderawi dari hal-hal yang bersifat
negatif.
Dalam ibadah haji juga terkandung tujuan pembinaan akhlak. Ketika orang
melaksanakan ibadah haji, seluruh akhlak buruk dan jahat harus ditinggalkan.
Larangan ini bermaksud agar orang meningglkan akhlak yang seperti itu dan suka
melakukan akhlak yang baik, sehingga benar-benar menjadi kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah
ayat 197:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji”.
Ketika melaksanakan ibadah haji orang berdo’a supaya ibadah hajinya mabruur
atau diterima Allah. Di antara indikasi ke mabruuran haji adalah terjadi
perubahan sikap dan tingkah laku seseorang setelah kembali dari melaksanakan
ibadah haji, ke arah peningkatan akhlak yang lebih baik.
Umat Islam melaksanakan berbagai ibadah adalah karena diperintahkan oleh
Allah. Kerana manusia mempunyai kecenderungan untuk taat dan tidak taat, maka
Allah mengiringi perintah-perintahnya dengan sangsi atau ancaman yang berlaku
di akhirat. Namun demikian ibadah dalam Islam bukan dimaksudkan untuk menyembah
Allah, karena Allah adalah Maha Besar, Maha Kaya, Maha Perkasa dan Maha
segala-galanya, serta disembah atau tidak disembah Allah tetap dalam
keMahaannya.
Ibadah disyari’atkan semata-mata untuk kepentingan manusia itu sendiri,
yaitu agar manusia menjadi muttaqin, manusia yang senantuasa mematuhi Allah
dalam bidang apapun. Oleh karena itu, manusia harus berusaha supaya dapat dekat
ke haribaan Allah atau taqarryb ilallah. Adapun jalan yang efektif ke arah itu
adalah dengan tertib dan khusyu melakukan ibadah. Apabila terdapat banyak orang
yang bertaqwa di lingkungan masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi
masyarakatyang baik. Dari masyarakat yang baik insyah Allah akan lahir generasi
baru yang baik, yang akan melanjutkan tugas-tugas kekhalifahan manusia.
Faktor-factor keikhlasan sangat besar pengaruhnya bagi tercapainya tujuan
ibadah. Keikhlasan adalah perbuatan jiw, yaitu sikap jiwa ketika melaksanakan
ibadah yang tidak dipengaruhi oleh motivasi-motivasi lain, kecuali motivasi
karena Allah semata-mata. Allah berfirman dalam surat al-Bayyinah ayat 5:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
mengabdi kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan)agama dengan lurus”.
Melaksanakan
ibadah dengan tingkat keikhlasan yang tinggi, memungkinkan dapat beribadah
dengan kekhusyu;kan yang dalam. Seharusnya setiap orang berusaha sekuat-kuatnya
untuk mencapai kualitas ibadah seperti ini, karena ibadah seperti inilah yang
dapat menyampaikan seseorang pada tujuan ibadah yang luhur dan mulia.
3. Memelihara
Keseimbangan Unsur Rohani dan Jsmani
Pada uraian-uraian di atas telah disebutkan bahwa Islam memandang manusia
sesuai dengan hakekatnya. Ajaran-ajaran Islam ditujukan untuk umat manusia,
agar memperoleh pedoman yang menjamin kebahagian dan kesejahteraan hidup
duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rohani, serta perorangan maupun kemasyarakatan. Manusia merupakan kesatuan
unsure rohani dan jasmani. Manusia hidup memerlukan hasil potensi alam. Manusia
hidup memerlukan hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan dilakukan dengan
iman yang bersebdi tauhid mutlak dan ibadah yang ihklas sesuai dengan tuntutan
yang diberikan.
Islam mengajarkan bahwa manusia yang berunsur jasmani dan rohani, yang
hidup di dunia menuju akhirat, masing-masing unsur harus memperoleh temapat secara
seimbang. Al Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 201 mengajarkan, agar manusia
mohon kepada Tuhan untuk diberi kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di
akhirat serta dipelihara dari siksa neraka. Dan al-Qur’an dalam surat
al-qashash ayat 77 mengajarkan, agar manusia mencari perkampungan akhirat
dalampemberian Tuhan, tetapi jangan melupakan hidup di dunia.
Hadist Riwayat Bukhari dari Abdullah bin Amr menceritakan bahwa pada suatu
hari Rasululllah dating di rumah Abdullah untuk menanjakan berita orang yang
mengatakan, bahwa waktu Abdullah habis untuk beribadah, malam harinya untuk
mengerjakan shalat dan siangnya untuk berpuasa. Setelah Abdullah membenarkan
berita itu, maka Rasul bersabda: “janganlah kau lakukan demikian, shalat,
tidur, puasa dan berbukalah kamu; jasadmu mempunyai hak yang wajib kau penuhi;
matamu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; tamu-tamumu mempunyai hak yang
wajib kau penuhi; keluarga juga mempunyai hak yang wajib kau penuhi; mungkin
umurmu akan panjang, cukuplah kau berpuasa tiga hari tiap-tiap bulan; setiap
kebaikan diberi pahala sepuluh kali lipat, dengan demikian, puasa tiga hari
tiap-tiap bulan itu seperti puasa sepanjang masa”. Abdullah merasa amat ringan
berpuasatiga hari tiap-tiap bulan itu, dikatakannya kepada Nabi bahwa ia mmasih
kuat lebi dari itu, maka Nabi bersabda:”Kalau begitu puasalah tiga hari
tiap-tiap minggu”. Abdullah masih merasa ringan, dikatakannya pula kepada Nabi
bahwa ia masih kuat lebih dari itu, maka Nabi bersabda:”Kalau begitu puasalah
seperti puasa Nabi Daud”. Ditanyakannya bagaimana puasa Nabi Daud itu, oleh
Nabi dijawab:”Setengah panjang masa” artinya sehari puasa dan sehari berbuka.
Berdasar ayat al-Qur’an dan hadist Nabi tersebut dapat diperoleh kepastian
bahwa pelaksanaan ibadah dalam Islam tidak boleh sampai mengabaikan
kewajiban-kewajiban yang menyangkut kebutuhan jasmaniah dan duniawiah.
Islam mengajarkan agar manusia tidak perlu mengurangi sifat-sifat kodrat
kemanusiaannya, manusia perlu bekerja untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya,
serta manusia supaya bekerja untuk memajukan dan meningkatkan kehidupan di
dunia. Yang harus menjadi pokok perhatian adalah jangan sampai usaha keduniaan
melalikan orang dari hubungan dengan Allah, Tuhan yang memberikan hidup. Jangan
sampai usaha memenuhi kebutuhan jasmani melalikan usaha memenuhi kebutuhan
ruhaniah. Keinginan memperoleh kesenangan hidup di dunia jangan sampai
mendesak kebutuhan membekali diri untuk hidup kekal di akhirat. Orang jangan
sampai lupa kepada Allah, karena ia akan lupa hakekat dirinya dan hakekat
wujudnya. Dalam hubungan ini, al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 18-19
memperingatkan orang-orang beriman, hendaklah bertaqwa kepada Allah.
Masing-masing supaya memeriksa perbekalan apakah yang telah disiapkan untuk
menghadapi kehidupan di masa depan, kehendaklah bertaqwa kepada Allah, sungguh
Allah Maha mengetahui segala sesuatu yang dilakukan. Jangan hendaknya seperti
orang-orang yangb lupa kepada Allah, karena akan melupakan mereka terhadap diri
mereka sendiri. Orang-orang yang lupa kepada Allah adalah orang-orang yang
fasik.
Prinsip-prinsip yang diuraikan di atas berkaitan dengan kondisi fisik dan
psikis manusia, sehingga syari’at ibadah dapat diterima akal, serta, mudah
dimengerti dan dilaksanakan. Allah sebagai Pencipta manusia, MahaMengetahui keadaan
manusia. Oleh karena itu, dalam pembebanan ibadah keapada manusia, kelihatan
sekali bahwa faktor-faktor kesanggupan hamba, naluriyahnya,
keadaan kesehatannya, dan juga kesempatannya turut dipertimbangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar