Cari Blog Ini

Kamis, 21 Juni 2012

KONSEPSI MANUSIA DALAM ISLAM


A. Perbedaan manusia dengan hewan

Dalam sejarah pemikiran manusia berbicara tentang masalah manusia suatu hal sangat menarik dan unik. Ketika manusia berusaha untuk mencoba  menjawab perbedaan dirinya dengan hewan, maka jawaban sudah dapat dipastikan berbeda-beda sesuai dari sudut pandang cara memahaminya. Namun suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan  apakah  yang membedakan manusia dengan hewan secara mendasar?

Dalam buku Pengantar ke Filsafat Sains, Andi hakim Nasution menyatakan bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak pada kemampuan manusia untuk berpikir dan bernalar, sedangkan kemampuan berpikir dan benalar itu memungkinkan pada manusia, karena itu ia memiliki susunan otak yang paling sempurna dibandingkan dengan otak berbagai jenis mahkluk hidup lainnya, termasuk hewan-hewan yang bentuk tubuhnya sangat dekat dengan manusia, yaitu primata yang primi .

Dalam buku Agama dan Manusia, menurut Murtadha Muntahhari menyatakan bahwa perbedaan keduannya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan tingkat tujuan mereka. Inilah yang memberikan kelebihan, keunggulan serta membedakannya dirinya dari semua hewan yang lain.

Perbedaan yang dinyatakan dari kedua pendapat di atas belum menunjukkan kepada perbedaan yang mendasar, karena aspek bepikir dan benalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran, bukan sesuatu yang sangat vital bagi manusia apabila ditinjau dari sudut pandang agama. Bukan berati bahwa semua hal yang disebut itu tidak penting, namun dalam ajaran Islam berpikir dan benalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran merupakan alat bagi manusia untuk memahami eksistensi dirinya, alam dan Tuhan.
Berpikir dan bernalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran sebagaimana yang dinyatakan kedua pendapat tersebut adalah merupakan produk dari essensi yang membedakan manusia secara mendasar dengan hewan. Oleh karena itu, suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan apakah berpikir dan bernalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran tersebut dapat mempertanggungjawab kan semua perbuatan  yang pernah dilakukan manusia di atas dunia ini?
 
Dalam ajaran Islam, berpikir, nalar dan aspek dimensi pengetahuan serta kesadaran yang dikemukakan oleh kedua pendapat di atas, bukanlah sesuatu yang dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatan manusia di akhirat nanti. Karena semua alat-alat tersebut tidak akan berfungsi bersamaan dengan wafatnya seseorang. Jika  demikian,  apa yang membuat manusia itu dapat berpikir, bernalar dan mempunyai aspek pengetahuan serta mempunyai kesadaran.

Dalam Alquran surat 32: 7-9, dinyatakan bahwa “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknuya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah,- kenudaian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (sperma) – kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya roh  (ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan afhida (fuad); tetapi mereka sedikit sekali bersyukur.

Selain dari ayat tersebut di atas dapat dilihat dalam surat  15: 29, 21: 91, 38: 72, 58: 22, 66:12. 17: 85.

Dari ayat di atas  dapat dipahami bahwa kunci dasar kehidupan dan keberadaan manusia itu adalah ruh, karena ruh yang membuat manusia mempunyai pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad). Jika dipahami secara filosofis bahwa apa yang dinyatakan oleh Allah ini merupakan sumber memperoleh ilmu, karena ilmu itu diperoleh melalui pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) manusia. Produk dari hasil pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) manusia ini sebagaimana yang disebut pengetahuan bagi manusia.

Al-Qur’an membedakan  secara mendasar pengrtian qalbu dengan al-afhida (fuad) dalam surat tersebut di atas. Karena pengertian qalbu yang digunakan dalam Al-Qur’an banyak hal berbicara tentang persoalan fisik, yang diterjemahkan  dalam bahasa Indonesia disebut hati dalam bentuk fisik, sementara pengertian al-afhida (fuad) dalam Al-Qur’an tidak berbicara dalam bentuk fisik, namun dalam hal yang bersifat non fisik, dan tidak tepat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut hati.
 
Di samping itu, ar-ruh juga diartikan sebagai hakikat berpikir atau kecerdasan yaitu kemampuan manusia untuk siap memperoleh ilmu. Dalam kaitan ini, ruh adalah kekuatan berpikir, yang memungkinkan seseorang menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran. Al-Gazali menjelaskan sebagai yang halus yang ada dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat menangkap pengertian, serta bersifat ketuhanan.

Oleh karena itu, ruh yang ada dalam diri manusia ini yang membedakan manusia dengan hewan. Karena ruh tidak akan pernah wafat ketika manusia itu meninggalkan dunia, karena ruh itu akan kembali kepada Allah untuk mempertanggung jawabkan semua hasil perbuatan yang dilakukan di atas dunia.  Sedangkan yang wafat di dalam diri manusia adalah jiwa,  sebagaimana diungkap dalam surat 21:35.  “tiap-tiap  yang berjiwa akan menemukan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada kamilah kamu akan dikembalikan”.

Al-Quran membedakan secara tegas antara ruh dan jiwa, hal ini dapat dilihat di dalam pengertian-pengertian yang dikemukakan dibawah ini :

1.     Pengertian Ruh

Persoalan ruh adalah persoalan yang amat pelik, sehingga banyak orang beranggapan bahwa soal ruh itu tidak perlu dibicarakan, karena dapat membinggungkan. Sesungguhpun demikian, pada umumnya diakui bahwa ruh adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan ini, timbul persoalan, jika ruh itu amat penting bagi manusia, bukankah ia harus mengetahuinya? Jika manusia tidak dapat mengetahui sesuatu yang amat penting baginya, bukankah itu berarti bahwa ia gagal memahami dirinya?, dan dalam kondisi manusia gagal memahami dirinya, apakah ia layak diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya?    

Di pihak lain, ternyata Tuhan seperti yang diajarkan oleh agama meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Kenyataan ini mau tidak mau mengharuskan adanya pengetahuan manusia memahami dirinya, memahami sesuatu yang amat penting bagi dirinya, yaitu ruh. Jika tidak, maka ketentuan Tuhan meminta pertanggungjawaban kepada manusia, menjadi sia-sia dan kehilangan makna.

Dilihat dari jurusan ini, maka ketentuan Tuhan untuk minta pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, tentu disertai dan didasarkan kemampuan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk memahami dirinya, memahami segala akibat-akibat perbuatannya, memahami sesuatu yang amat penting baginya, yaitu ruh. Pengetahuan tentang ruh, tentu saja berbeda dengan pengetahuan manusia tentang jasadnya, yang bisa diraba, diukur, ditimbang bahkan difoto. Pengetahuan tentang ruh bersifat spiritual, karena berkaitan dengan medan yang immaterial.

Kesulitan memahami ruh ini terlihat dari betapa banyaknya pendapat yang mencoba untuk memberikan penjelasan tentang ruh. Ruh sering dipahami sebagai pusat kehidupan, maka kehidupan ada jika ada ruh, kematian adalah tiadanya ruh. 

Kata ruh adalah ar-rih yaitu angin. Oleh karena ituar ruh disebut an-nafas yaitu nafas atau nyawa. Di samping itu, kata ruh sering juga disebut an-nafs yaitu jiwa. Menurut Abu Bakar al-Anbari kata ar-ruh dan an-nafs adalah searti. Bagi orang Arab, ar-ruh menunjukkan arti laki-laki, sedangkan an-nafs menunjukkan arti perempuan. Menurut Abu Haitham, ruh adalah nafas yang berjalan di seluruh jasad. Jika ruh itu keluar maka manusia tidak akan bernafas. Menurut Ibn Atsir ruh itu dipakai dalam berbagai arti tetapi yang penting umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad dan dengan ruh itu tercipta kehidupan. Bagi Ibnal-Arabi kata ar-ruh mempunyai banyak arti yaitu (1) al-farh, kegembiraan, (2) Alquran (3) al-amr, perintah atau arahdan (4) an-nafs, jiwa atau keakuan.

Di samping itu, ar-ruh juga diartikan sebagai hakikat berpikir atau kecerdasan yaitu kemampuan manusia untuk siap memperoleh ilmu. Dalam kaitan ini, ruh adalah kekuatan berpikir, yang memungkinkan seseorang menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran. Al-Gazali menjelaskan sebagai yang halus yang ada dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat menangkap pengertian, serta bersifat ketuhanan.

Dengan demikian, pengertian ruh menjadi sulit diberikan defenisinya secara tepat, ruh sering disamakan dengan jiwa, dapat juga menunjukkan suatu instansi atau fungsi lebih tinggi dalam fisik manusia, yang tidak jarang dianggap Ilahi, ia juga merupakan orientasi manusia di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Oleh karena itu, jika ingin berbicara tentang ruh dalam arti konkrit, maka istilah ini harus dikaitkan dengan seluruh praksis manusiawi yang berlangsung secara sadar atau tidak sadar dalam kebudayaan.

2.  Kata Ruh dalam Alquran

Dalam Alquran terdapat 21 kata ar ruh, yang tersebut dalam 20 ayat. Kata ar-ruh dalam Alquran dipakai dalam berbagai arti dan konteks. Yang pertama kata ar-ruh dikaitkan dengan kata al-quds seperti yang tersebut dalam surat  2 : 87 dan dilihat juga pada surat  2: 254, 5: 110, 16: 102. Tentang ar-ru al-quds  ini ada beberapa pendapat, yang pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ar-ruh al-quds itu adalah  malikat Jibril. Yang kedua adalah Kitab Injil, yang ketiga adalah ruh yang dapat menghidupakan orang mati dan yang empat adalah ruh Tuhan yang dianugrahkan kepada Nabi Isa as., sebagai penghormatan kepadanya.

Pada ayat lain, kata ar-ruh dikaitkan dengan kata al-amin seperti yang disebut pada surat 26: 193. Yang dimaksud dengan ar ruh al-amin adalah malaikat Jibril yang terpercaya untuk menyampaikan wahyu kepada rasul-rasul Allah. Selanjutnya Alquran juga menyebutkan kata ruh sebagai sesuatu yang dibawa malaikat dari Allah untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya. Alquran menyatakan dalam surat 16: 2 dapat dilihat juga dalam surat 40: 15. Kata ruh sebagai sesuatu dari perintah Allah yang disampaikan malaikat kepada hamba-hamba Tuhan itu adalah mempunyai pengertian wahyu Allah. Lebih jelas lagi adalah keterangan Alquran dalam surat 42: 52.

Di smping itu, kata ruh juga dipakai untuk menyatakan sesuatu yang dihembuskan dari Allah ke dalam diri manusia, dan menjadi bagian dari diri manusia dan selanjutnya Allah juga menjadikan untuknya pendengaran, penglihatan dan hati Alquran menyatakan dalam surat 32: 9, lihat juga dalam surat 38: 72, 15: 29, 66: 12, 21: 91, 58: 22. Dalam Alquran kata ruh, baik dalam pengertian wahyu, Alquran ataupun sesuatu yang dihembuskan Allah ke dalam diri manusia, selalu diberikan keterangan sebagai amr dari Allah. Secara jelas Alquran memberikan jawaban pertanyaan tentang ruh ialah amr Robb, seperti yang dinyatakan dalam surat 17: 85.

Jadi, ruh dalam Alquran diartikan secara tegas dan jelas sebagai amr dari Allah. Oleh karena itu, kata kunci untuk memahami ruh itu adalah terletak pada kata amr. Dalam kaitan ini maka penjelasan-penjelasan Alquran tentang amr menjadi sangat penting untuk menyingkap dan memahami ruh itu. Tanpa pemahaman yang lengkap tentang amr ini, maka ruh akan sulit dipahami pengertian nya. Kata amr dalam Alquran dipakai untuk berbagai arti. Yang pertama  kata amr diartikan sebagai perintah. Alquran menyatakan dalam surat 65: 5, dapat dilihat juga dalam surat 7: 77 dan 11: 59. Yang kedua amr diartikan sebagai arah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran surat 54: 12. Yang ketiga amr diartikan sebagai perkara atau urusan, Alquran menyatakan dalam surat 3: 159. Yang empat  amr diartikan sebagai hukum, atau aturan Allah pada ciptaan-Nya. Alquran menyatakan dalam surat 7: 54. Dari ayat-ayat tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa ruh adalah amr dari Allah. Kata kunci dalam Alquran dipakai dalam arti perintah (65: 5), arah (54: 12), perkara, urusan (3: 159) dan hukum atau ketentuan (7: 54). Kata kunci amr  berasal dari kata kerja amara yang artinya perintah untuk mengerjakan. Dalam bentuk imarah artinya adalah kepemimpinan. Dengan demikian, maka kata amr artinya adalah pimpinan, perintah, perkara dan urusan.

Jadi, kata ruh yang dalam Alquran diberi penjelasan sebagai amr min Allah mempunyai pengertian pimpinan, perintah, perkara dan urusan dari Allah. Fungsinya tidak lain adalah merupakan bimbingan dan petunjuk bagi manusia. Dalam pengertian sebagai pembimbing atau pemberi petunjuk itulah, maka dalam Alquran ruh juga dipakai untuk menyebut nama malaikat, dengan sebutan ar-ruh al-amin, yaitu malaikat Jibril yang bertugas membimbing para rasul menurunkan dan mengajarkan wahyu. Ruh juga diartikan sebagai wahyu yang terkumpul dalam kitab suci sebagai pedoman hidup bagi manusia (42: 52)

Lalu, apakah ruh dari Allah yang dihembuskan ke dalam diri manusia itu? Jika direnungkan surat 32: 9 yang mengaitkan ruh ke dalam diri manusia dengan dijadikannya pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad), maka dapatlah ditarik pengertian bahwa ruh itu adalah pimpinan yang ada dalam diri manusia, yang membimbing pendengaran, pengelihatan dan qalbunya untuk memahami kebenaran. Pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) merupakan instrumentasi rohani yang memungkinkan manusia memahamai pimpinan Allah, sehingga ia dapat mendengar, melihat dan memahami kebenaran sejati (22: 46).

Alquran secara tegas menjawab dan menerangkan pertanyaan tentang ruh manusia sebagai amr min Robb dan manusia diberikan pengetahuan sedikit tentangnya dalam surat 17: 85. Jadi, ruh dalam diri manusia adalah bimbingan dan pimpinan dari Allah dalam diri manusia. Pernyataan Alquran bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang ruh, bukan berarti tidak bisa mengetahui sama sekali tentang ruh. Pengetahuan manusia tentang ruh sedikit sekali tentunya jika dibandingkan dengan pengetahuan Allah.

Pengetahuan manusia tentang ruh adalah sangat penting karena dengan mengetahuinya, maka manusia dapat mengenali dirinya dan memahami kebenaran, sehingga ia dapat menjauhi perbuatan yang dapat merusak dan merugikan diri sendiri dan menjalani hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Pengetahuan tentang ruh tentunya berbeda dengan pengetahuan manusia mengenai benda-benda yang dapat disusun secara ilmiah, berdasarkan data-data yang terkumpul yang dapat diukur, diamati dan dianalisa. Dengan memahami, menyadari dan memasuki diri sendiri, manusia berhubungan dengan eksistensi ruhnya yang ada dalam dirinya sendiri.

Jadi, hakekat ruh adalah bimbingan dan pimpinan Allah yang hanya diberikan kepada manusia, yang membedakan manusia dari mahkluk Allah lainnya. Ruh tidak lain adalah daya yang bekerja secara spiritual untuk memahami kebenaran,  suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan.

Hakekat ruh tidak dapat diketahui secara material karena ruh bersifat gaib sehingga tidak dapat ditunjuk subtansinya secara fisik dalam dimensi ruang dan waktu. Kesulitan memahami hakekat ruh oleh karena sifatnya yang gaib membuka perbedaan pemahaman terhadapnya, dan seringkali antara pengertian yang satu dengan yang lainnya menjadi kabur. Dalam studi Filsafat Islam, seperti Ibn Sina menegaskan bahwa ruh dijumbuhkan dengan nafs, sehingga menyulitkan usaha memahami hakekat ruh itu sendiri, mengingat nafs dapat juga berarti diri, atau keakuan.

Dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan, peranan ruh sebagai pimpinan dan bimbingan Allah dalam diri manusia itu sangat besar, karena dengan ruh sebagai daya yang bekerja secara spiritual untuk berhubungan dengan prinsip-prinsip kebenaran melalui berpikir terhadap alam sekitar dan selalu ingat kepada kekuasaan Allah, maka arah pembentukan kebudayaan yang rasionalistik materialis seperti yang tampak gejalanya dalam kehidupan modern, akan bergeser ke arah kehidupan kebudayaan yang berdimensi transenden.             

3.  Pengertian Nafs
 
Menurut Ibn Ishak kata an-nafs dalam bahasa  Arab digunakan dalam dua pengertian. Pengertian pertama seperti dalam ungkapan telah keluar nafas seseorang atau nyawanya, sedangkan pengertian kedua seperti dalam ungkapan yaitu seseorang telah membunuh dirinya, artinya ia telah menghncurkan seluruh dirinya atau hakikatnya. Bentuk jamak dari kata nafs adalah anfus dan nufus. Menurut Ibn al-Bari, an-nafs bisa bermakna ruh, dan bisa bermakna hal yang membedakan sesuatu dari yang lain. Menurut Ibn Abbas, dalam setiap diri manusia terdapat dua unsur  nafs, yaitu nafs akal yang bisa membedakan sesuatu, dan nafs ruh yang menjadi unsur kehidupan.

Kata an-nafs dan ar-ruh yang berasal dari Alquran telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian nafsu, nafas dan ruh, Kata an-nafs yang seringkali dipergunakan Alquran dan diterjemahkan menjadi “jiwa” sesungguhnya berarti “pribadi” atau “kekakuan”. Ucapan-ucapan seperti an-nafs al-mutma’innah dan an-nafs al-lawawamah dan an-nafs al-ammarah (yang bisa diterjemahkan menjadi jiwa yang merasa puas dan jiwa yang mengutuk), sebaiknya dapat dipahami sebagai keadaan-keadaan, aspek-aspek, watak-watak, atau kecenderungan-kecenderungan dari pribadi manusia. Semua ini dapat dipandang sebagai sifat “mental” (yang berbeda dari yang fisikal) asalkan akal pikiran tidak dipahami sebagai subtansi yang terpisah.

 An-nafs dalam pengertian keakuan atau pribadi adalah totalitas diri manusia, Pernyataan “aku” adalah pernyataan total tentang diri seseorang. Jika seseorang mengatakan “aku makan,”  maka pernyataan aku menunjukkan pada totalitas diri, meskipun yang melakukan makan adalah mulutnya. Oleh karena itu, ia tidak akan mengatakan mulutku makan. Demikian juga halnya  dalam kaitannya  dengan pemilikan. Jika seseorang mengatakan “aku punya pensil,”  maka pernyatan aku menyatakan pada totalitas diri, meskipun yang memegang dan menggunakan pensil itu tangannya, dan ia pun tidak akan mengatakan tanganku punya pensil. Jadi pernyataan “aku”  baik dalam kaitan dengan perbuatan atau pemilikan, tidaklah semata-mata menyangkut hal-hal yang fisik saja, tetapi lebih dalam lagi berkaitan dengan hal-hal yang non-fisik. Dalam keakuan (ego) terdapat kesatuan transenden, kesatuan dari keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan, kesatuan dari kualitas-kualitas.

Kenyataan menunjukkan bahwa keakuan muncul ketika kesadaran manusia tentang dirinya terbentuk, dan terbentuknya kesadaran tentang diri  ini bermula sejak bentuk manusia yang sempurna lahir. Kesadaran tentang diri itu dibentuk oleh berbagai factor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kapasitas berpikir yang terbawa oleh kodranya sebagai ciptaan dan factor eksternal yaitu lingkungan hidup dan kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan.

Munculnya kesadaran tentang diri, menempatkan manusia pada posisi obyek dan subyek. Manusia sebagai kesadaran adalah subyek menghadapi dirinya sebagai obyek. Kesadaran muncul sebagai buah dari perenungan terhadap diri sendiri. Dalam kaitan ini, maka nafs yang menjadi pokok pembahasan di sini adalah nafs dalam pengertian diri, keakuan, bukan dalam pengertian nafsu, nafas dan ruh. Nafs dalam pengertian diri, keakuan, muncul setelah tahapan jasad, hayat terlampaui, menjadi sebuah eksistensi. 

4. Nafs dalam Alquran              
       
Dalam Alquran kata nafs terdapat 140 ayat, Sedangkan bentuk jamaknya nufus terdapat dalam 2 ayat, dan dalam bentuk jamak lainnya an-fus terdapat dalam 154 ayat. Alquran menggunakan kata nafs dalam empat pengertian yaitu 1) dalam pengertian nafsu, 2) nafas, 3) jiwa dan  4) diri, keakuan.

-          Nafs dalam pengertian nafsu dinyatakan dalam surat 12:53.
-          Nafs dalam pengertian nafas atau nyawa terdapat dalam surat 3:185. 21:25. 39:42.

Tentang arti nafs dalam ayat di atas ini, terdapat perbedaan pendapat, ada yang menyebutnya dalam arti jiwa dan ada pula yang mengartikannya nyawa, nafas, yang menjadi tanda adanya kehidupan pada tubuh manusia. Sayyid Quthb menyatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan nafs yang mengalami hidup dan mati, setiap nafs akan mati. Sedangkan ar-Razi menjelaskan bahwa kematian itu berkaitan dengan tubuh, karena jiwa atau roh tidak  mengalami kematian, dan oleh karena pernyataan nafs berkaitan dengan kematian, maka nafs ini berkaitan dengan tubuh. Sedangkan nafs yang berkaitan dengan kematian tubuh, seperti tersebut dalam ayat ini dapat diartikan dengan nafas, nyawa, karena nyawa merupakan tanda adanya kehidupan, al-hayat. Kematian ditandai dengan lenyapnya nafas, nyawa, kemudian diikuti hilangnya unsur  panas, air dan tanah yang berkumpul kembali dengan alam asal kejadian.

-          Nafs dalam pengertian jiwa terdapat daplam surat 89:27-30

Sehubungan dengan nafs dalam ayat di atas ini, yang diartikan jiwa,  ar-Razi menjelaskan bahwa pengertian jiwa ini diperoleh karena nafs di sini berkaitan dengan keterangan, dan seperti disebutkan dalam ayat Alquran maka tentu yang dimaksudkan adalah jiwa, ruh, yaitu al-qaib yang memperoleh keterangan dengan memahmi tentang Allah sebagai wajib al-wujud. Sedangkan Zamakhsyari menyatakan nafs dalam ayat ini diartikan jiwa, ruh, yang dimasukan ke dalam diri hamba-hamba Allah.

-          Nafs dalam pengertian diri, keakuan, pribadi dinyatakan dalam surat 6:164.

Realitas manusia adalah realitas pribadi, yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan, dan setiap pribadi mempunyai pendapat dan keinginan yang berbeda-beda. Setiap pribadi bertanggungjawab sepenuhnya atas segala apa yang dilakukannya, ia tidak akan bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Menurut Alquran, setiap pribadi hanya akan memperoleh bagian dari apa yang dilakukannya dinyatakan dalam surat 53:38-41.

Oleh karena itu, perbuatan baik pada dasarnya untuk kepentingan dirinya sendiri, demikian pula perbuatan jelek, pada dasarnya akan merugikan dirinya sendiri, Alquran menyatakan dalam surat 41:46. 45:15. Selanjutnya Alquran menegaskan bahwa perbaikan nasib seseorang ditentukan oleh kemampuannya merubah apa yang ada dalam diri pribadinya dinyatakan dalam surat 8:53. 13:11.

Dalam hubungan ini, maka kesungguhan diri manusia mempunyai arti yang sangat penting. Allah menjanjikan kepada siapa yang bersungguh-sungguh dalam jalan Allah, akan memperoleh bimbingan Allah, karena Allah selalu bersama-sama dengan orang-orang yang berbuat kebaikan, dinyatakan dalam surat 29:6.

 Sebagian besar kata nafs dalam Alquran dipakai untuk menunjukkan arti diri, keakuan, Keakuan itu bertanggungjawab  atas setiap apa yang diperbuatnya sendiri. Alquran menyatakan dalam surat 53:38-41, akan menanggung akibat yang timbul dari apa yang diperbuatnya itu (Alquran 41:46) dan perubahan keadaan hidupnya akan terjadi jika keakauan itu merubah dirinya (Alquran 8:53) Oleh karena itu, melalui kerja yang sungguh-sungguh, keakuan akan mendapatkan hasil apa yang dikerjakannya (Alquran 29:6). Keakuan atau nafs adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas hisupnya.    
                
B. Akal dan Fungsinya dalam Alquran

Akal adalah al-hijr atau an-nuha artinya adalah kecerdasan. Sedangkan kata kerja ‘aqala artinya adalah habasa yaitu mengikat atau menawan. Karena itu, seorang yang menggunakan akalnya, al-‘aqil  adalah orang yang menawan atau mengikat hawa nafsunya. Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya, ia mampu mengendalikan diri dan akan dapat memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk memahami kebenaran.

Dengan Demikian, akal dapat juga diartikan sebagai suatu potensi rohaniah untuk membedakan mana yang  hak dan mana yang batal, mana yang benar dan mana yang salah. Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin dan penglihatan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.

Akal, dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi merupakan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa  manusia; daya yang dalam Alquran digambarkan memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal adalah potensi gaib yang tidak dipunyai oleh mahkluk lain yang mampu menuntut kepada pemahaman diri dalam alam. Ia juga mampu melawan hawa nafsu.

Akal sesungguhnya mempunyai bermacam-macam arti, yang pertama, akal adalah sifat yang membedakan manusia dari pada hewan. Dengan akal manusia bersedia menerima berbagai macam ilmu yang memerlukan pikiran. Yang kedua hakikat akal ialah ilmu pengetahuan yang timbul dari alam wujud. Yang ketiga ialah ilmu yang diperoleh dari pengalaman, dan yang keempat adalah pengetahuan tentang akibat segala sesuatu, dan pencegah hawa nafsu. Akal dengan demikian merupakan daya kekuatan untuk memperoleh segala ilmu. Ilmu akal meliputi ilmu yang duniawi dan yang ukhrowi. Oleh karena itulah, dalam sebuah hadist dikatakan :Tidak dijadikan oleh Allah suatu mahkluk yang terlebih mulia padanya dari pada akal. Dalam hadist yang lain dikatakan : Apabila manusia itu mendekati Tuhan dengan pintu-pintu kebajikan dan amal sholeh, maka engkau dekatilah Tuhan dengan akalmu.
Oleh karena itu, dalam Alquran dijelaskan bahwa akal mempunyai fungsi untuk memahami kebenaran yang fisik maupun yang metafisik. Dalam Alquran terdapat 49 ayat yang menjelaskan tentang penggunaan akal, yaitu ‘aqalu  1 ayat, ta’qilun  24 ayat, na’qiln 1 ayat, ya’qilu  1 ayat, dan  ya’qilun 22 ayat.   Penggunaan akal itu antara lain :
  1. terdapat 14 ayat dipakai dalam kaitannya dengan keimanan. Dalam surat 2: 76, 75. 11: 51.  21: 67.  28:60.  36:62.  2: 170, 171. 5: 103.  10: 100.  25: 44.  39: 43.  49: 4. 59: 14. 
  2. terdapat 5 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kitab suci. Dalam surat 12: 2. 2: 44. 3: 65.  21: 10.  43: 3
  3. terdapat  6 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam surat  2: 73, 242. 6: 32.  29: 35.  30: 28. 26: 28.
  4. terdapat 3 ayat berkaitan dengan kehidupan akhirat. Dalam surat 67: 10. 2: 32. 10:16.
  5. terdapat 7 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami proses dinamika kehidupan manusia. Dalam surat 22: 46.  12: 109.  11: 51. 8: 22.  36: 68.  10: 10. 24: 61.
  6. terdapat 12 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami alam semesta seisinya. Dalam surat 2: 164. 23: 70. 28: 60. 37: 138. 67: 10. 26: 28. 57: 170. 13: 4. 16: 12, 67.  29: 63. 30: 24.
  7. terdapat 1 ayat dipakai dalam kaitannya dengan hukum moral. Dalam surat 6: 151.
  8. terdapat 1 ayat dipakai dalam kaitannya dengan Sholat. Dalam surat 5: 58.

Dari 49 ayat yang menjelaskan tentang penggunaan akal, maka dapatlah ditarik pengertian bahwa akal dalam Alquran dipakai untuk memahami realitas yang konkrit seperti proses kelahiran manusia dan alam semesta, dan juga realitas gaib, seperti kehidupan neraka, nilai-nilai moral dan untuk memahami tanda-tanda Tuhan, baik yang tersurat dalam Kitab Suci maupun yang tersirat dalam alam dan manusia, serta kaitannya dengan al-qalb  yang mempunyai kemampuan memahami realitas.

Menggunakan akal artinya adalah menggunakan kemampuan pemahaman baik dalam kaitannya dengan realitas yang konkrit, maupun realitas spiritual. Realitas konkrit dipahami oleh pikiran dan realitas spiritual oleh qalbu. Keduanya pikiran dan qalbu merupakan instrumen akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran. Dengan demikian kegiatan akal adalah kesatuan pemikiran dan qalbu dalam usaha memahami kebenaran. Alquran menyatakan dalam surat  3: 190-191.

Memikirankan penciptaan alam adalah kegiatan yang berpusat di kepala, sedangkan mengingat Allah, adalah kegiatan yang berpusat di qalbu yang ada dalam dada.
Keduanya merupakan kesatuan daya rohani untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia mapu memasuki dunia kesadaran tertinggi, bersatu dengan kebenaran Ilahi. Kesatuan antara berpikir tentang alam sekitarnya yang berpusat di kepala dan menghayati serta mengingat Allah yang berpusat di qalbu yang ada di dada, dapatlah kiranya disebut sebagai suatu aktivitas kesatuan akal.

Jadi, Konsep Tauhid dalam kebudayaan pada tahap pengertian sebagai proses seperti yang digambarkan dalam Alquran surat 3: 190-191 di atas adalah kesatuan zikir kepada Allah dan pemikiran tentang ciptaan Allah yang berada di antara bumi dan langit. Kesatuan zikir dan pikir ini, sebagai penjelmaan dari aktivitas orang-orang yang berakal. Kesatuan aktivitas itu dapat digambarkan sebagai berikut :

                    Berzikir ----------------------------- Allah


Orang                                                                                        
Berakal                                                                             Aktualitas
                                   
                                      
                     berpikir ----------------------------- Ciptaan Allah
Akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran bekerja dengan menggunakan pikiran dan qalbu, yang  keduanya berhubungan secara organis. Pikiran bekerja untuk   memahami dimensi fisik, bersifat material, sedangkan qalbu bekerja untuk

memahami dimensi metafisik, besrsifat spiritual. Keduanya dalam pandangan tauhid merupakan kesatuan fungsional bagi kebudayaan.

Pengembangan pikiran yang terlepas dari kaitannya dengan qalbu, mengakibatkan manusia hanya memperoleh pengetahuan lahiriahnya saja dari realitas yang ditangkap dan manusia dapat dikuasai hawa nafsunya, singga pikirannya bekerja untuk kepentingan pemuasan hawa nafsu. Sebaliknya qalbu yang berkerja terlepas dari pikiran, membuat seseorang hanya menagkap dimensi spiritual dari realitas yang ada, secara moral ia mempunyai kesadaran yang baik, tetapi penguasaan teknik dan cara menyelesaikan masalahnya seringkali mengalami kemacetan, karena dimensi fisiknya tak kuasa.

Hubungan organis pikiran dan qalbu sebagai instrumen akal dapat digambarkan sebagai berikut :  
                                                 

                          Pikiran
                                                           
                                                                                            

                                                  Qalbu



1. Pikiran

Berpikir sebagai proses budaya adalah memhami realitas dan melakukan penilaian kritis terhadap pemahaman itu. Di sini terdapat dua hal penting yang perlu mendapat perhatian yaitu pemahaman terhadap realitas dan penilai kritis terhadap pemahaman itu. Meskipun realitasnya sama seringkali terjadi perbedaan pemahaman terhadap realitas itu. Seperti pemahaman terdahap realitas kemiskinan. Dalam melihat kemiskinan terjadi benyak perbedaan dalam memahaminya. Kemiskinan jika dipandang sebagi “takdir” ketentuan Allah yang mutlak – tentunya tidak ada satupun kekuatan dari manusia yang dapat merubahnya kecuali Allah sendiri. Sebaliknya jika kemiskinan itu dipandang sebagai akibat dari adanya sitem kehidupan sosial
ekonomi yang timpang maka tentunya dengan upaya keras manusia dapat merubahnya.

Sedangkan penilaian kritis atas pemahaman manusia terhadap realitas adalah upaya menggugat keabsahan pemahaman itu, dengan harapan upaya realitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penilaian kritis ini diperlukan kejujuran intelektual, karena seringkali terjadi pemahaman manusia terhadap realitas merupakan  opini yang dipengharuhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Opini adalah bukan fakta., bahkan seringkali terjadi opini tentang fakta yang nyata berbeda dengan faktanya sendiri, dan orang menjadi tertarik karena opini bukan faktanya – sehingga tidak terjadi perubahan apa-apa terhadap faktanya itu sendiri, meskipun fakta itu memerlukan perubahan.

Berpikir adalah kegiatan yang sepenuhnya bebas. Barangkali tidak ada kebebasan yang penuh bagi manusia kecuali berpikir. Karena itu tidak ada satu kekuatan pun yang dapat secara effektif melarang atau menghentikan pikiran bekerja. Meskipun fisik manusia disiksa, pikirannya tetap dapat bekerja paling tidak untuk mencari jalan bagaimana cara menghindari siksaan itu, atau bagaimana agar siksaan itu tidak terasa sakit. Pikiran hanya dapat berhenti jika hidup manusia berhenti atau kehilangan kesadaran dirinya. Berpikir dapat dilakukan manusia, dimana pun dan kapan pun.


Di samping itu manusia juga bebas untuk memikirkan apa saja, tidak ada yang haram untuk dipikirkan. Kotak-kotak pemikiran terjadi, karena kotak-kotak budaya, terutama yang terjadi dalam proses pendidikan. Pendidikan yang terkotak-kotak akan melahirkan pemikiran yang terkotak-kotak pula dan akibatnya pemahaman terhadap realitas menjadi terkotak-kotak, sehingga realitas tidak dapat sepenuhnya dipandang secara utuh.

Kegiatan berpikir adalah kegiatan yang otonom, bahkan berada di luar penilaian etik. Oleh karena itu, orang yang berpikir tentang perampokan tetapi tidak pernah melakukan perbuatan merampok, tidak dapat dituntut secara hukum di muka pengadilan. Demikian juga berpikir tentang kebebasan, bukan berarti pembebasan manusia dari segala ikatan atau norma-norma hukum tertentu. Jika ada yang mengikat berpikir, mungkin itu adalah hukum berpikir dalam pengertian metodologi serta obyek yang dipikirkan. Tidak ada satupun ayat Alquran yang melarang berpikir, bahkan sebaliknya Alquran menganjurkan kepada manusia untuk berpikir, dinyatakan dalam surat 34: 46. 
            
Dalam Tafsir al-Takhr ar-Razi diterangkan bahwa ada dua hal yang penting dalam ayat ini, yaitu 1) kata wahidah yang mempunyai pengertian tauhid dan 2) kata tatafakaru yang arti berpikirlah. Tauhid adalah salah satu prinsip ajaran Alquran, sedangkan berpikir merupakan sarana untuk memahami dan mengembangkan prinsip ajaran tauhid dalam kehidupan.

Prinsip ajaran tauhid ialah bahwa Tuhan adalah Esa, dan Yang Esa itu merupakan sumber semua kehidupan yang ada. Prinsip Tauhid ini bukanlah sekedar suatu keyakinan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang senantiasa harus diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim. Oleh karena itu, berpikir menjadi anjuran yang melekat dalam prinsip tauhid, karena tanpa berpikir ajaran tauhid itu tidak bisa dimengerti, apalagi diterapkan dalam kehidupan.


2. Qalbu

Qalbu berasal dari kata qalaba yang bermakna berubah, berpindah atau berbalik. Qalaba  mengalami beberapa perubahan bentuk seperti inqalaba dan qallaba namun artinya masih sama. Menurut Ibn Sayyidah, qalb jamaknya qulub, artinya hati. Al-Qalb mempunyai dua pengertian, yang pertama dalam pengertian kasar, atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri, di dalamnya terdapat rongga-rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber kehidupan dan seringkali dinamakan jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan dan arif. Qalbu memiliki kemampuan untuk mengetahui essensi segala sesuatu. Al Qalb dalam Alquran menurut Amir al-mu’minin Ali juga disebut sadr, fu’ad, lubb dan syagafDisebutkan dalam sebagai berikut:

-          disebut sadr karena ia tempat terbitnya nurul Islam, dinyatakan dalam surat 39: 22.
-          disebut fu’ad karena menjadi tempat terbitnya makrifat Allah, dinyatakan dalam surat 53: 11.
-          disebut lubb karena menjadi terbitnya tauhid, dinyatakan dalam surat 65: 10.
-          Disebut syagaf karena temapat terbitnya kecintaan makhluk kepada sesamanya, dinyatakan dalam surat 12: 30.

Dalam Alquran terdapat kurang lebih 101 ayat yang memjelaskan tentang kata benda al-qalb atau jamaknya al-qulub. Terbagi dalam beberapa persoalan sebagai berikut:

-          43 ayat dipakai dalam kaitannya dengan soal-soal keimanan, termasuk di dalam hal ini adalah ketidak berimanan, antara lain kufur, perbuatan dosa, dalam surat 49: 14,7. 9: 117,8,45,64,77,110. 22:32. 7:100,101. 15:12.

-          2:204,97,7,10,93. 8:24. 33:5. 45:23. 64:11. 26:194. 42:24. 4:155,63. 41:5. 59:10. 3:8,167. 5:41. 6: 46. 83:14. 10:88. 18:14. 16:22. 21:3. 61:5. 22:54. 23:63. 24:50. 58:22.

-          24 ayat dipakai dalam kaitannya dengan perasaan, baik ketakutan, kegelisaan, kegoncangan, harapan, ketenangan, dinyatakan dalam surat 33:26,5,26,51. 39:45. 79:7,9. 3:15, 159,126,103. 57:27. 24:37. 40:18. 16:106. 5:113. 8:2,10, 11,63. 9:15,60. 23:60. 33:5,26,51. 48:10. 59:14.

-          20 ayat dipakai dalam kaitan untuk menjelaskan sifat, seperti keteguhan, kesucian, kasar dan keras, serta kesombongan, dinyatakan dalam surat 22:53. 37:84. 40:35. 50:33. 3:159,154. 18:28. 28:10. 2:74,225,118. 6:43. 8:70. 33:54,53,4. 48:12,26. 49:3.
 
-          5 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kemampuan al-qalb untuk zikir, mengingat kekuasaan Allah, dinyakatan dalam surat 13:28. 50:37. 39:22,23. 57:16.

-          7 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kemampuan al-qalb untuk memahami kebenaran dan kekuasaan Allah yang tersembunyi dibalik peristiwa-peristiwakemanusiaan, maupun dalam ayat-ayatNya (tanda-tanda), dinyatakan dalam surat 22:46. 7:179. 47:24. 6:25. 9:8,93,127.

-          3 ayat dipakai dalam kaitannya dengan akhirat, kehidupan sesudah mati, baik di sorga maupun di neraka, dinyatakan dalam surat 26:88,89. 34:23. 33:10.

 Jadi, al-qalb dalam pengertian fisik adalah sesuatu yang ada di dalam dada (22: 46) yang sering disebut jantung. Akan tetapi di dalam pengertian non fisik, al-qalb adalah suatu kemampuan untuk memahami kebenaran-kebenaran yang bersifat metafisik, tanda-tanda kekuasan Allah, makna dibalik kejadian kemanusiaan, dalam kehidupan di akhirat nanti.
Al-qalb bukan pikiran, karena itu kata al-qalb dalam Alquran tidak pernah dipakai dalam kaitannya dengan pemikiran. Al-qalb sebagai kekuatan yang dapat memahami kebenaran metafisik, ia dalah bagian dari akal, karena itu dala Alquran al-qalb dalam aktivitasnya menggunakan kata kerja ya’qiluna biha (22:46). Keduanya (pikiran dan qalbu) tumbuh dari akar yang sama dan masing-masing saling melengkapi. Yang satu menangkap kebenaran sepotong-potong dan yang lain menangkap keseluruhan. Yang satu memusatkan perhatiannya pada kebenaran sementara, dan yang lain dalam aspek kebenaran  kekal. 

C. Kebebasan Akal

Akal adalah daya rohani untuk memahami kebenaran, baik kebenaran yang bersifat mutlak maupun kebenaran yang bersifat relatif. Kebenaran mutlak adalah kebenaran Tuhan,
yang bercermin melalui tanda-tanda-Nya, yang tersimpan dalam alam ciptaan-Nya dan tersurat dalam firman-firman-Nya, dalam kitab suci. Kebenaran reasltif adalah kebenaran sebagai hasil pemahaman manusia terhadap realitas sekitarnya yang berupa ilmu pengetahuan.

Akal sebagai daya rohani pada dasarnya bebas, kebebasannya hampir mutlak, karena tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalangi akal bekerja. Akal sebagai daya rohani bersifat ketuhanan, karena pembicaraan tentang akal selalu berhubungan dengan dimensi pikir dan zikir.
Akal adalah anugerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, akal harus digunakan agar ia tidak kehilangan kemanusiaannya. Akal yang tidak berfungsi mengakibatkan manusia jatuh pada kekuasaan hawa nafsu dan berarti kejatuhan manusia, yang digambarkan Alqur’an lebih sesat dari pada binatang dinyatakan dalam surat 25: 43-44.

Akal yang tidak berfungsi menjadikan qalbu manusia tertutup, sehingga manusia kehilangan kemampuan untuk memahami kebenaran sejati. Alquran menyatakan dalam surat 45: 23. Seseorang yang menggunkan akal adalah sesorang yang mampu menawan dan mengikat hawa nafsunya, dan hawa nafsu bisa diikat jika qalbu manusia selalu ingat pada kekuasaan Tuhan dinyatakan dalam surat 13: 28.

Kebebasan akal merupakan prasyarat bagi kebudayaan, dan kebebasan akal ini dijamin penuh oleh Alquran. Hal ini terbukti tidak ada satu pun ayat dalam Alquran yang melarang manusia untuk menggunakan akalnya, sebaliknya banyak sekali ayat Alquran yang mengajurkan manusia menggunakan akalnya. Sesungguhnya tidak perlu ditakuti adanya kebebasan akal, sebaliknya harus ditakuti adanya ketidakbebasan akal, karena akal yang tidak bebas bekerja, dapat membawa seseorang dikuasai hawa nafsu,karena qalbunya melemah, sehingga ia dapat melupakan adanya kekuasaaan dan kebesaran Allah. Seorang yang dikuasai hawa nafsunya, akan melahirkan perbuatan yang dapat merusak kehidupan.

1.  Mekanisme Akal.

Akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran, baik yang fisik maupun yang metafisik, yang mutlak dan yang relatif, bekerja melalui pikiran dan qalbu manusia. Pikiran untuk memahami yang baik dan yang relatif, sedangkan qalbu untuk memahami yang metafisik dan mutlak.
Pikiran dan qalbu berhubungan secara organis dan keduanya bekerja pada batas-batas obyeknya dan pada tahapan dari pertumbuhannya. Batas-batas obyek dibawa oleh kodratnya, sedangkan batas-batas pertumbuhan dipengaruhi oleh proses belajar dan pengalaman hidup. Batas-batas  kodrat bersifat tetap, sedangkan batas-batas pertumbuhan bersifat dinamis dan oleh karena proses belajar terus menerus maka batas-batas pertumbuhan itu bergerak dan berkembang, sampai akhirnya pada waktu  yang pasti, pada saat kematian tiba, batas pertumbuhan itupun berhenti.

2.. Obyek Pikiran

Dalam Alquran terdapat enam belas (16) ayat tentang berpikir, dan dalam ayat-ayat tersebut terlihat bahwa yang menjadi obyek pemikiran menurut Alquran adalah alam dan manusia serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keduanya. Dari enam belas (16) ayat itu terbagai sebagai berikut:

- Sembilan (9) ayat di antaranya dipakai untuk memikirkan manusia, dinyatakan dalam surat 30: 8. 2: 219, 266.  3: 191. 7: 176, 184. 39: 42. 34: 46. 6: 50.
- Enam (6) ayat di antaranya dipakai untuk memikirkan alam ciptaan Tuhan, dinyatakan dalam surat 13: 3. 10:24. 45:13. 16: 11, 69. 3: 191.
-      Satu (1) ayat  menjelaskan tentang pemikiran yang salah, dinyatakan dalam surat 74: 18-26.

Secara jelas Alquran menerangkan bahwa abyek pemikiran adalah alam dan manusia serta yang berkaitan dengan kehidupan keduanya. Jika seseorang mencoba memikirkan di luar batas obyeknya, maka bisa mengakibatkan celaka. Contoh kesalahan itu seperti kesimpulan berpikir bahwa Alquran itu adalah sihir dan perkataan manusia pada umumnya dalam surat 74: 18-26.

Dalam hubungan dengan pemikiran tentang alam, Alquran mengajurakan kepada manusia untuk memperhatikan proses penciptaan dalam alam, dinyatakan dalam surat 88:17-20. Dalam hubungan ini, Alquran menjelaskan tentang adanya prinsip-prinsip kebenaran di dalamnya, dinyatakan dalam surat 19: 5, 14: 19. 6:73. Di samping itu, Alquran juga menandaskan adanya ukuran tertentu di dalamnya, dinyatakan dalam surat 25: 2. 54: 49.

Pemikiran tentang alam artinya adalah memperhatikan proses penciptaan dalam alam semesta, proses pertumbuhan, perkembangan dan juga kehancuran. Perhatian terhadap proses-proses penciptaan ini sangat penting bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi, karena melalui pemikiran terhadap proses-proses penciptaan itu, ia dapat pula mempraktekkan dalam proses penciptaan alam kebudayaan.

Sudah barang tentu kemampuan manusia menciptakan tidak sama dengan Tuhan, bahkan tidak selayaknya dibandingkan dengan Tuhan., karena memang derajat manusia dengan ciptaan Tuhan jauh lebih rendah dari Penciptanya. Akan tetapi pemahaman terdahap proses penciptaan alam semesta ini, mempunyai andil yang besar bagi penciptaan alam kebudayaan, karena penciptaan alam kebudayaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari alam semesta. Penciptaan Alam semesta akan selalu melibatkan dan tergantung pada alam semesta, paling tidak pada bahan yang dipakainya, serta ruang dan waktu, yang memungkinkan proses penciptaan itu berlangsung.

Pemikiran terhadapa proses penciptaan dalam alam semesta, dimaksudkan agar manusia memahami prinsip-prinsip kebenaran yang ada di dalamnya. Melalui pemahaman terhadap prinsip-prinsip kebenaran yang ada dalam alam semesta ini, manusia dapat mengembangkan lebih jauh untuk penyusunan teori-teori  dan untuk melakukan percobaan-percobaan. Melalui penyusunan teori dan percobaan-percobaan itu, proses penciptaan kebudayaan dapat dilaksanakan.
   
Sedang pemikiran tentang manusia, Alquran mengajurkan kepada manusia untuk memperhatiakan proses penciptaan dirinya, dinyatakan dalam surat 86: 5-7. Dalam kaitan ini, manusia juga dianjurkan untuk memperhatikan makanannya, dinyatakan dalam surat 80: 24-28. Setelah memperhatikan proses penciptaan dirinya, dan makanannya, maka manusia pun dinjurkan untuk memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu beserta akibat-akibatnya, dinyataka dalam surat 30: 9.

Ajuran untuk memperhatikan proses kelahiran manusia, makanan serta sejarah merupakan anjuran yang sangat besar artinya bagi kelangsungan hidup generasi manusia. Memperhatikan proses penciptaan manusia memberikan pengetahuan yang bermanfaat untuk memahami susunan dirinya, sehingga manusia dapat memahami kekuatan-kekuatan yang dimilikinya serta kelemahan-kelemahannya sekaligus untuk merancang kehidupan selanjutnya., dengan program-program untuk meningkankan kualitas hidup manusia serta merencanakan untuk menciptakan hidup yang lebih baik.

Dengan memperhatikan makanannya, manusia dapat memahami proses kelangsungan hidupnya serta mengatasi problema yang ditimbulkan oleh makanannya, baik yang sudah terserap dalam tubuhnya yang seringkali menimbulkan problem bagi kesehatannya, maupun untuk merencanakan penyediaan makanan yang harus mengikuti jumlah penduduk yang bertambah, sehingga kelangsungan hidup generasi manusia dapat dipertahankan. Selanjutnya pemikiran tentang sejarah, jatuh bangunya suatu bangsa merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan karena melalui pemikiran itu akan diketahui hukum-hukum perkembangan suatu masyarakat yang mengatur dan mempengaruhi proses perubahan masyarakat.

Pemikiran terhadap manusia, baik sejak proses penciptaannya, makanannya dan sejarah perjalanan hidupnya, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan, karena kebudayaan pada akhirnya akan ditentukan sepenuhnya oleh kualitas manusianya. Melalui pemahaman histories, akan diperoleh kesadaran tentang perlunya strategi kebudayaan, sehingga kebudayaan sebagai suatu proses dapat diarahkan lebih manusiawi.
Obyek pemikiran menurut Alquran adalah alam dan manusia dengan segala aspeknya. Dari pemikiran tentang alam dan manusia pada dasarnya diharapkan dapat diperoleh pengetahuan mengenai prinsip-prinsip kebenaran, untuk menyusun teori-teori dan percobaan-percobaan, yang kemudian berkembang dalam dunia ilmu alam dan humaniora. Dari dua kubu ilmu itu berkembang menjadi lebih banyak, dengan menekankan pada  kajian aspek-aspek tertentu yang lebih terbatas. Kesemuanya itu pada dasarnya mempunyai andil sangat besar bagi pertumbuhan dan kelangsungan kebudayaan suatu bangsa.

Prinsip-prinsip kebenaran itu, pada akhirnya berkembang menjadi teori-teori dan perubahan yang terjadi dalam klehidupan alam dan manusia, pada gilirannya akan mengakibatkan adanya perubahan teori-teori. Tidak ada yang mutlak dalam teori-teori, dan teori apapun sebagai hasil pemikiran manusia sepenuhnya bersifat relatif, karena pikiran hanya berkerja dengan memecah realitas dalam fragmen-fragmen yang statis. Padahal realitas kehidupan alam dan manusia selalu berubah terus, yang mengharuskan adanya perubahan yang terus menerus.  

3. Obyek Qalbu

Dalam Alquran dijelaskan bahwa qalbu (al-qalb) mempunyai kemampuan untuk memahami atau menangkap makna-makna (22: 46 7:179. 47: 24).

-          Selanjutnya Aqlquran menjelaskan bahwa obyek pemahaman qalbu adalah prinsip-prinsip yang mengatur jatuh bangunnya suatu bangsa atau hukum sejarah dan makna-makana yang tersurat dalam Alquran.dinyatakan dalam surat 22: 45-46.
-          Selanjutnya mengenai Alquran sebagai obyek pemahaman qalbu, dijelaskan dalam surat 47: 24.
-          Alquran bagi qalbu tidak hanya sebagai obyek yang dipahami, tetapi juga menjadi obat bagi qalbu yang sakit. Dinyatakan dalam surat 10: 57.
-          Alquran menjadi obat bagi qalbu yang sakit, karena Alquran adalah zikr.  Dijelaskan dalam surat 38: 1
-          Alqurqn adalah menjadi obat bagi qalbu yang sakit, karena Alquran adalah zikr dan menurut Alquran qalbu akan tenang hanya dengan zikr. Dijelaskan dalam surat 13: 28.

Yang menjadi obyek qalbu adalah sejarah dan Alquran. Dalam sejarah terkandung peristiwa jatuh bangunnya bsuatu bangsa dan peristiwa-peristiwa tentang perubahan-perubahan yang mendasar, yang merubah wajah kehidupan manusia secara drastis. Sesungguhnya dibalik peristiwa-peristiwa sejarah itu, terkandung suatu hukum yang mengatur proses perubahan masyarakat. Hukum-hukum itu berlaku pasti dan tidak berubah., dijelaskan dalam surat 35:  43. Sedangkan dalam memahami Alquran, seseorang kan memperoleh wawasan batin yang akan menuntunya ke jalan yang benar dan lurus. Alquran memberikan pedoman dan tuntunan moral bagi kehidupan manusia. Dijelaskan dalam surat 17: 9
     
Pikiran dan qalbu dalam pandangan tauhid adalah merupakan kesatuan mekanisme akal, keduanya merupakan sarana untuk memahami kebenaran. Sebagai kesatuan antara keduanya sesungguhnya tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang, pemisahan keduanya akan mengakibatkan seseorang tidak dapat memahami realitas secara utuh.

Strategi pembentukan kebudayaan adalah didasarkan pada kesatuan pikiran dan qalbu dalam perbuatan. Pikiran bekerja untuk menyusun konsep, membuat rencana kerja dan merumuskan tujuan-tujuan atau hasil yang hendak dicapainya, sedangkan qalbu bekerja untuk memberikan wawasan batin, sehingga realitas kebudayaan itu tetap
berada dalam kerangka moral dan untuk tujuan-tujuan moral, sebagai manifestasi dari perpanjangan kuasa Ilahi.

D. Hakekat Manusia

Berbicara tentang hakekat manusia pada dasarnya membicarakan tentang pokok soal yang bersifat radikal, yaitu berusaha menemukan akar pengertian tentang manusia, yang mungkin saja melewati batas-batas pengertian yang hanya menekankan pada salah satu aspek kehidupannya, seperti yang terdapat dalam kajian berbagai disiplin ilmu, umpamanya antropologi, sosiologi, dan psikologi. Hakekat manusia adalah sesuatu yang amat vital yang menentukan kehidupannya di tengah kancah perubahan masyarakat.

Dengan demikian, pencarian tentang hakekat manusia tidak bisa hanya terpaku pada pemikiran tentang sesuatu yang menjadi unsur pokok yang menentukan dirinya, seperti dalam pandang serba materi (materialisme) yang menetapkan materi sebagai unsur pokok yang menentukan kehuidupan manusia. Sebaliknya dalam pandangan serba ruh (spiritualisme) menetapkan rohaniah sebagai unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia. Pandangan yang melacak unsur pokok pada asal mula adanya manusia dapat mengakibatkan terbaikan aspek dinamik dalam realitas kehidupan.

Di samping itu, pencarian tentanh hakekat manusia tidaklah cukup hanya berhenti pada pandangan untuk menjelaskan tentang unsur pokok yang secara internal ada dalam dirinya ataupun pada apa yang dimilikinya yang sesungguhnya bersifat eksternal. Hakekat manusia tidak tergantung oleh keadaan-keadaan dari luar, hal itu semata-mata tergantung pada nilai yang diberikannya pada dirinya sendiri. Kekayaan, pangkat, perbedaan sosial, bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok. Satu-satunya persoalan adalah kecenderungan sikap yang terdalam pada jiwa, dan prinsip yang terdalam ini tidak dapat dihancurkan.
Untuk itu diperlukan suatu sandaran pemikiran yang lebih mendasar, guna memahami dan menentukan hakekat manusia itu, suatu sandaran yang dapat membawa ke arah pemahaman yang lebih mendasar, suatu sandaran yang berada pada tingkat lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia. Sandaran yang lebih kuat dan jauh lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia itu, tidak lain adalah firman-firman Tuhan (wahyu Ilahi). Sandaran wahyu ini kiranya sangat diperlukan, karena keterbatasan pemikiran manusia untuk memahami hakekat dirinya, mengingatkan manusia secara individual tidak pernah terlibat sedikitpun dalam proses penciptaan dirinya, ia lahir dari suatu proses yang berada di luar kekuasaan dirinya, ia adalah sebuah ciptaan belaka.

Dengan sandaran kepada wahyu Ilahi yang tersurat dalam kitab suci – dalam hal ini adalah Alquran, maka manusia diharapkan dapat memahami hakikat dirinya melalui petunjuk Tuhan yang menciptakannya. Pengetahuan yang paling lengkap dan benar tentang sebuah ciptaan adalah yang datang dari Penciptanya, karena dialah yang paling tahu tentang makna-makna dan keberadaan sebuah ciptaan.

Alquran tentang Hakikat Manusia

Alquran menegaskan bahwa yang dilihat pada manusia tidak lain hanyalah amal perbuatannya, atau pekerjaannya, dinyatakan dalam surat 9: 195. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa apa yang dikerjakan manusia adalah yang menentukan eksistensinya, baik dihadapan Tuhan, Rasul-Nya maupun bagi orang-orang yang beriman. Pekerjaan atau tindakan manusia merupakan perwujudan sepenuhnya dari dirinya, mewakili citra dirinya dan menjadi ukuran untuk menilai dirinya. Alquran menyatakan dalam surat 39: 39-40. Ayat ini menjelaskan tentang perbuatan dalam kaitannya dengan realitas sosial, dimana  dalam kehidupan suatu masyarakat terdapat perbedaan tingkat kehidupan, yang tercermin dalam berbagai kedudukan sosial sesorang yang satu berbeda dengan yang lainnya.  
Dalam kaitan ini, Alquran menganjurkan kepada manusia untuk berbuat sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, ini berarti Alquran di samping mengakui adanya perbedaan tingkat kedudukan sosial seseorang, juga menyatakan bahwa setiap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat itu menuntut suatu kualitas perbuatan yang sesuai dengan kedudukannya. Pada ayat lain Alquran menyatakan dalam surat 17: 84.

Ayat ini menjelaskan kaitannya perbuatan manusia dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam kehidupan masyarakat terdapat perbedaan kemampuan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan kemampuan perempuan untuk melahirkan anak, atau oleh perbedaan tingkat pendidikan dalam lingkungan kebudayaan, seperti seorang arsitek yang dapat merancang suatu konstruksi bangunan yang berbeda dengan seorang ekonom yang hanya mampu merancang suatu bidang kegiatan ekonomi.

Anjuran Alquran untuk berbuat sesuai dengan kemampuan pada dasarnya dapat dianggap sebagai anjuran yang bermakna etik, karena seseorang yang berbuat tidak sesuai dengan kemampuannya, seringkali berakibat mencelakakan diri sendiri. Seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat, bahwa seseorang menderita oleh pekerjaannya, bahkan nyaris jatuh total, dan hal ini sering disebabkan oleh ketidaktahuan atas kemampuannya atau memaksakan diri untuk berbuat di luar kemampuannya. Selanjut nya Alquran mengatakan dalam surat 11:7. 18:17,30. 67: 2.

Ayat ini sekali lagi menegaskan betapa pentingnya arti ‘amal  bagi kehidupan manusia di dunia ini, karena kehidupan ini sesungguhnya menjadi kancah manusia diuji ‘amal perbuatannya. Lulus tidaknya dalam ujian ini, sepenuhnya ditentukan oleh kualitas amal perbuatannya. Selanjutnya Alquran menyatakan dalam surat 41: 40.

Dalam hubungan dengan ujian terhadap amal perbuatan manusia, Alquran menegaskan adanya kebebasan untuk berbuat. Tanpa adanya kebebasan tentunya ujian terhadap amal perbuatan itu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, amal perbuatan manusia pada hakikatnya manusia sendiri yang sepenuhnya menentukan, dan tidak ada campur tangan Tuhan sedikitpun di dalamnya, karena jika ada campur tangan Tuhan  dalam amal perbuatan manusia, maka tentunya amal perbuatan itu tidak hanya menjadi ujian bagi manusia itu sendiri. Di atas kebebasan itu, diletakkan tanggung jawab agar kebebasan itu tidak berarti kesewenang-wenangan atas amal perbuatan manusia, Alquran menyatakan dalam surat 24: 23-25.

Bentuk pertanggung jawaban itu adalah balasan yang setimpal dan adil sesuai dengan kualitas amal perbuatan manusia, yang akan diberikan Tuhan kepada manusia yang diuji amal perbuatannya. Kebebasan itu tidaklah dapat dipisahkan dengan tanggung jawab, dengan kata lain kebebasan amal perbuatan manusia itu tidak dapat dipisahkan dengan nilai moral yang memberikan penghargaan tinggi terhadap adanya tanggung jawab, dinyatakan dalam surat 18: 110. Ayat ini menegaskan posisi Alquran yang berpihak untuk menegakkan hukum moral, sehingga Tuhan hanya dapat ditemui dengan sarana amal perbuatan yang baik. Dengan demikian, pertemuan dengan Tuhan hanya dapat dilakukan dengan amal perbuatan nyata yang sesuai dengan nilai-nilai moral.

‘Amal ialah al-fi-il artinya pekerjaan atau al-mihnah artinya pengabdian. Kadang-kadang dibedakan antara ‘amal dan I’timal, ‘amal dikatakan sebagai aktivitas yang tidak terkait dengan kepentingan diri sendiri, sedangkan i’timal adalah aktifitas yang terkait dengan kepentingan diri sendiri. Menurut Ibn Atsir jika kata ‘amal yang berkedudukan sebagai fi’il dibaca ‘ammala maka bermakna walla artinya menguasai atau menjadikan sesuatu.

 Dalam Tafsir al-Fakhr ar-Razi dikatakan bahwa apa yang disebut ‘amal mempunyai dua bagian, yaitu 1) ‘amal al-qalb yaitu pekerjaan qalbu, seperti berpikir, berkehendak dan membenci, dan 2) ‘amal al-jawarih, yaitu pekerjaan dari anggota tubuh manusia yang nampak dalam gerak atau diam. Jadi, amal pada dasarnya dapat dipandang dari dua tahap yaitu tahap gagasan (pemikiran dan kesadaran) dan tahap gerak tubuh yang melahirkan tindakan konkrit dalam realitas kehidupan. Kesatuan dari gagasan dan tindakan dalam realitas kehidupan dapat dipandang sebagai proses pembentukan suatu kebudayaan. Pada tahap kesatuan gagasan dan aktualitasnya terdapat kaitaan dengan nilai etik. Oleh karena itu, tindakan yang tidak didasarkan pada kesadaran berpikir sesungguhnya tidak dapat dinilai secara etik. 

Dari ayat-ayat tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan Alquran, amal perbuatanlah yang menentukan arti hidup manusia, baik di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Pada amal perbuatan manusia inilah terletak hakikat manusia, bukan pada unsur pokok yang membentuk dirinya yaitu jasadnya hayat, ruh.

‘Amal dalam pandangan Alquran mempunyai arti yang amat luas, yang menyakut berbagai aspek kehidupan manusia di dunia ini dan bukan semata-mata kegiatan peribadatan formal seperti yang diatur dalam kehidupan keagamaan. ‘Amal dalam hubungan ini adalah merupakan wujud penjelmaan kesatuan diri (nafs) – kesatuan jasad, hayat ruh,  yang menjelma menjadi perbuatan nyata, yaitu perbuatan nyata dari manusia yang menjadi hamba Allah (‘abd Allah) yang bertugas membentuk kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fil al-ardhi).

Pandangan tauhid Alquran dalam konsep antropologi adalah terletak dalam pandangannya atas kesatuan manusia dalam diri yang disebut Alquran dengan kata nafs, kesatuan diri dari unsur-unsur jasad, hayat, ruh. Kesatuan diri itu terjelma dalam amal perbuatan, amal perbuatan nyata yang merupakan wujud dari kesatuan kedudukan manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah) yang bertugas menciptakan kebudayaan di muka bumi  (khalifah Allah fil al-ardhi).
Manifestasi amal perbuatan seorang hamba Allah (‘abd Allah) adalah ketaatan dan kepatuhannya yang ikhlas atas perintah-perintah Allah, kepada hukum-hukum Allah yang mengatur semua ciptaan-Nya, yang menjadi sunnah Allah, dan ketulusannya beribadah kepada-Nya, yang secara formal diatur dalam kehidupan keagamaan. Sedangkan manifestasi amal perbuatan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi  adalah ketekunannya mengembangkan konsep-konsep dalam realitas kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Amal dalam kaitannya dengan kebudayaan adalah merupakan lapangan kegiatan yang amat luas.

Hakikat manusia adalah amalnya, karyanya, dan dalam karyanya terjelam nilai-nilai kemanusiaannya. Manusia menampakkan dirinya secara nyata dalam karyanya, dalam wujud kebudayaan. Kebudayaan sebagai penjelmaan kesatuan eksistensi diri manusia hamba Allah (abd Allah) adalah karya nyata dari manusia sebagai kalifah Allah di muka bumi. Dalam karyanya, totalitas diri (jasad, hayat, dan  ruh) manusia menyatu secara nyata dan dinamis. Melalui karyanya, kualitas kemanusiaan akan dilihat oleh Allah dan utusan-Nya serta orang-orang yang beriman dalam surat 9: 105. Hanya melalui karyanya yang baik, diri manusia akan dapat menemui Tuhannya dalam surat 18: 110.
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar