1. Pengertian Penciptaan
Penciptaan adalah suatu proses mewujudkan gagasan
dalam kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa terlibat dalam
proses penciptaan , antara lain menciptakan gedung-gedung yang berlomba makin
tinggi seakan-akan ingin mecakar langit, membangun jalan layang untuk mengatasi
kemacetan karena semakin banyaknya kenderaan-kenderaan yang harus diproduksi,
menciptakan konsep-konsep pembangunan yang baru sesuai dengan perubahan yang
senantiasa terjadi dalam kehidupan manusia, dan seterusnya. Manusia selalu
ingin yang baru, menggantikan yang lama, yang dirasa sudah usang. Keinginan
memasuki pengalaman yang baru atau kebaruan, telah mendorong manusia untuk
memasuki medan penciptaan yang tak pernah mandek, dan dengan kemampuan
kreatifnya ia menjelajahi bahkan menghadirkan bayangan hari depan ke kekinian.
Analisis literer menunjukkan bahwa kata penciptaan mengandung beberapa bagian
atau komponen yaitu adanya pencipta atau pelaku penciptaan, adanya bahan atau
material yang dipakai, cara atau metodae penciptaan, transformasi dan model
khusus dari hasil akhir atau penggunaannya. Proses penciptaan bermula dari
adanya pencipta yang memikirkan sesuatu hal. Sesuatu hal itu difikirkan menjadi
suatu konsep berupa gugusan ide yang meliputi bentuk atau model, konstruksi,
ukuran kekuatan atau kapasitas serta tujuan atau hasil yang ingin dicapainya.
Setelah konsep itu jelas, dengan kekuatan tenaga yang dimiliki, kemudian proses
penciptaan itu dimulai dalam ruang dan waktu tertentu, dengan menggunakan bahan
tertentu pula sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, maka jadilah suatu
wujud baru, bentuk baru dari sesuatu yang sebelum tidak ada.
Nyatalah bahwa dalam kehidupan ini, tidak ada sesuatu yang terjadi dengan
sendirinya atau kebetulan. Kualitas suatu kejadian atau produk sepenuhnya
ditentukan oleh kualitas penciptanya. Oleh karena itu, kualitas ciptaan manusia
jauh lebih rendah daripada ciptaan Tuhan. Dalam setiap ciptaan Tuhan terdapat
di dalamnya mekanisme control yang bekerja secara otomatis untuk memperbaiki
atau menggantikan kerusakan yang terjadi. Sebaliknya dalam ciptaan manusia
tidak terdapat di dalamnya mekanisme control yang bekerja secara otomatis,
untuk melakukan perbaikan atau penggantian sesuatu yang rusak. Akibatnya
manusia harus selalu awas terhadap hasil ciptaannya, mengontrolnya
terus-menerus agar tidk mencelakakan dirinya, karena kelalian akan fatal
akibatnya.
Kenyataan tidak adanya mekanisme control bagi ciptaan manusia menyebabkan adanya ketergantungan yang penuh kepadanya, dab akibatnya akan sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Jika moralitas manusia rendah, maka ilmu dan teknologi srta wujud kebudayaan lainnya sebagainya produk manusia, tidak mustahil akan mengakibatkan bencana, karena digunakan bukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Demikian juga sebaliknya, jika moralitas manusia kuat, maka ilmu dan teknologi akan meyemaikan harapan dan kesejahteraaan bagi kehidupan bersama.
Dengan demikian, penciptaan bagi manusia merupakan tanggung jawab moral.
Dalam setiap upaya penciptaan selalu terkandung di dalamnya tujuan. Penciptaan
yang mempunyai tujuan-tujuan yang bertentangan dengan moralitas atau kemanusian
pada hakekatnya merupakan upaya penghancuran, penghancuran terhadap eksistensi
manusia sendiri.Sebaliknya, penciptaan yang didasarkan moralitas dan untuk
tujuan-tujuan kemanusiaan pada hakikatnya adalah upaya peneguhan, peneguhan
eksistensi manusia. Eksistensi manusia makin teguh oleh aktivitas
penciptaannya.
Sesungguhnya penciptaan adalah suatu aktivitas yang sangat menentukan bagi
adanya eksistensi. Eksistensi Tuhan sepenuhnya melekat pada penciptaaan,
karenanya dalam ciptaan Tuhan termuat eksistensi dari Tuhan. Kesempurnaan dan
keteraturan srta keseimbangan yang terkandung dalam ciptaaan Tuhan adalah
merupakan wujud kesempurnaan Tuhan.
Penciptaan bagi manusia adalah aktivitas yang menentukan eksistensinya di
dunia ini. Kemampuan penciptaan yang dimilikinya merupakan anugrah Tuhan yang
paling berharga bagi kehidupannya. Tantang dan perubahan yang terus-menerus
terjadi dalam kehidupannya mengharuskan manusia memberikan jawaban dan jawaban
itu sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kemampuannya
menciptakan, menciptakan sesuatu dri sesuatu yang ada mendahuluinya.
2. Penciptaan Dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allahlah yang Pencipta semua yang ada ini.
-
Allah
adalah al-Khaliq. Al-Qur’an
mengatakan dalam surat
ar-Ra’d (13:16 ) :
“Katakanlah:’Siapakah
Tuhan langit dan bumi?’ Jawabnya Allah. Katakanlah: ‘Maka patutkah kamu
mengambil pelindung-pelindung dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?’
Katakanlah: ‘Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap-gulita dan terang-benderang, apakah mereka menjadikan beberapa sekutu
bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaaan
itu serupa menurut pandangan mereka?’ Katakanlah: ‘Allah adalah pencipta segala
sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.
-
Penciptaan semua yang ada ini langit dan bumi
seisinya menurut al-Quran berlangsung
dalam waktu tertentu. Al-Qur’an mengatakan dalam surat
al-‘Araf ayat 54, dan dapat dilihat juga dalam surat 10 :3, 11: 7, 25: 59, 32:
4, 57:4, 50: 38.
-
Penciptaan
itu bermula dari air. Al-Qur’an mengatakan dalam surat 21: 30, 11: 7, dan dapat dilihat juga dalam surat 41: 11-12.
-
Penciptaan itu tidaklah sia-sia, tanpa manfaat
ataupun makna. Penciptaan itu sama sekali bukan main-main. Al-Qur’an mengatakan dalam surat 21: 16,
dan dapat dilihat juga dalam surat 44: 38-39.
-
Bagi manusia, penciptaan semua itu hendaknya menjadikan
ia ingat terhadap kekuasaan Allah dan tunduk pada hukum-hukum-Nya. Al-Qur’an menyatakan dalam surat
10: 3.
-
Selanjutnya
al-Qur’an menegaskan bahwa dalam penciptaan semua yang ada itu, terdapat
ayat-ayat yaitu tanda-tanda kebesaran Allah, yang hendaknya menjadi bahan
renungan dan pemikiran manusia. Al-Qur’an menyatakan dalam surat 2: 164.
Pengungkapan Al qur’an tentang Penciptaan
Alam Semesta dalam bentuk kata :
1.
KHALIQ
-
Kata khaliq ini sebanyak 13 kali yang tersebar
dalam 9 surat. 11: 7, 10 : 3, 25: 59, 32: 4, 57:4, 50:
38. 41: 9,10,11,12. 65:12. 51:47. 21:30 .
2.
BAD’
Kata Bad’ ini sebanyak 4 kali dalam 4 surat, 2 :
117, 6:101, 46:9. 57: 27.
3. FATHIR
Kata Fathir ini
20 kali dalam 17 sura. 6:14,79. 11:51. 12:101. 14:10. 17:51. 20:72. 21:56. 30:30.
35:1. 36:22 .39:46. 42:11. 43:27
3 Proses Penciptaan Alam Semesta
Membicarakan proses penciptaan alam semesta, bukan berarti Allah
menciptakan sesuatu berhadapan hadapan satu dengan yang lainnya , seperti
manusia melakukan suatu perbuatan. Jangan dibayangkan seperti itu, sulit bagi
manusia untuk memahami manakala kita masih meletakan posisi serperti apa yang
dilakukan oleh manusia.
Al Qur’an memberikan informasi tentang bagaimana alam ini diciptakan dalam
surat 11 : 7 dengan arti :
“ Dan Dialah yang menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa dan adalah ‘Arsy-Nya di atas (al-ma) air, agar Dia
menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata
(kepada penduduk Mekkah) sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati, niscaya
orang-orangyang kafir itu akan berkata ini tidak lain hanyalah sihir yang
nyata”
-
Ayat
ini yang senada dengan ayat
tersebut diatas 7 : 54,. 10 : 3, 25: 59, 32: 4, 57:4,
50: 38. 41: 9,10,11,12. 65:12. 51:47. 21:30 .
Dari ayat-ayat
di atas ini, pernyataan senada tentang proses penciptaan alam semesta.
Terjemahan yang diungkap tentang kalimat “Wahuwal
lazi khalaqas sama’wati wal ardhi fi
sittati ayyam wa kana arsy alal ma’” diartikan dalam terjemahan al Qur’an
yang diterbitkan oleh Departemen Agama “Dan
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enan masa dan arsy Nya di atas
air”.
Semetara itu
dalam pengertian lain kalimat “Wahuwal lazi khalaqas sama’wati wal ardhi fi sittati ayyam
wa kana arsy alal ma’” diartikan atau diterjemahakan “Dan
Dialah yang menciptakan ruang alam (al sama’) dan materi (al ardhi)
dalam enan masa dan arsy Nya di atas al ma’”.
Yang dimaksud
dengan pengertian arsy adalah
singgasana atau kekuasaan yang dimiliki Allah, berada di atas al ma’.
Dalam terjemahan yang dipahami selama ini al ma’ ini diartikan dengan kata air, sementara dalam bahasa ilmu
pengetahuan alam atau fisika, kimia kata
al ma’ diartikan sop kosmos atau zat alir.
Kata al-sama’, yang lazim
diartikan dengan kata langit – harus dipahami sebagai ruang
alam yang di dalamnya terdapat galaksi-galaksi, bintang-bintang dan lainnya.
Hal ini untuk menghidari konsep yang keliru tentang pengertian langit yang dipahami sebagai bola
super raksasa yang mewadahi seluruh ruang alam.
Sedangkan kata al-ardh yang biasa diartikan dengan kata bumi – di
sini lebih tepat dipahami dengan materi, yaitu bakal bumi, yang sudah ada
sesaat setelah Allah menciptakan jagat raya.. Karena menurut penelitian
ilmuwan, bumi baru terbentuk sekitar 4,5 miliyar tahun yang lalu di sekitar
matahari, dan tanah di bumi kita ini baru terjadi sekitar 3 miliyar tahun yang
lalu sebagai kerak di atas magma. Demikian pula dengan al ma’ lebih tepat diartikan
dengan zat alir atau sop kosmos ketimbang dengan kata air. Sementara air
terdiri dari atom oksigen dan atom-atom hydrogen dalam fase penciptaan alam
belum dapat berbentuk dan isi alam ketika itu merupakan radiasi dan materi yang
ada pada suhu yang sangat tinggi itu wujudnya lain daripada air yang ada
sekarang ini.
Dari
informasi tentang ayat-ayat proses
penciptaan alam semesta tersebut ada tiga bentuk kata yang erat kaitannya
dengan proses penciptaan alam tersebut adalah kahlq, bad, dan fathr,
tidak ditemukan redaksi ayat dengan penjelasan yang tegas. Apakah alam semesta
ini diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketidakadaan. Jadi ketiga
bentuk kata itu hanya menjelaskan bahwa Allah Pencipta alam semesta tanpa
menyebutkan dari ada atau tiada.
Kemudian proses
berikutnya, seperti yang digambarkan dalam surat al-biya’/20:30 , ruang alam (al-sama’)
dan materi (al-ardh) sebelum
dipisahkan Allah adalah sesuatu yang padu. Jadi alam semesta ketika itu
merupakan satu kumpulan . kata kunci yang mengarahkan untuk disimpulkan
demikian, ialah kata ratq dan fatq. Kata ratq menunjukkan alam semesta
pada awal penciptaannya. Sedangkan kata fatq menunjukkan pula tentang proses
penciptaannya lebih lanjut. Perlu dipertanyakan, bagaimana bentuk kesatuan
sesuatu yang padu (ratq) itu?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut di atas, memang dirasakan amat sulit, karena al Qur’an tidak
memberikan petunjuk-petunjuk ke arah itu.
Kesimpulan sementara hanya dapat dikatakan bahwa sebelum terjadi ruang
alam (al-sama’) dan materi (al-ardh) seperti sekarang, alam semesta
merupakan satu kesatuan yang bersifat padu.
Rangkaian proses
berikutnya, setelah terjadi pemisahan oleh Allah alam semesta mengalami proses
transisi fase membentuk dukhan.
Hal ini
diperoleh dari pernyataan surat
Fushshilat 41:11 yang berbunyi artinya : Kemudian
Allah menuju penciptaan ruang alam (al-sama), yang ketika itu penuh “embunan”
Kata Dukhan dalam al Qur’an hanya ditemukan dua kali. Memuatnya satu kali
dalam surat Fushshilat 41:11 dan satu lagi dalam surat al-dukhan/ 44 :10. Akan
tetapi kata dukhan yang terdapat dalam surat dukhan, tidak berbicara tentang
proses penciptaan alam semesta seperti dalam surat Fushshilat.
Sehubungan dengan tidak adanya al Qur’an menjelaskan apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan kata Dukhan, karena itu beberapa referensi berusaha menafsirkan
kata ini. Bucaille memahami kata ini sebagai asap yang terdiri dari stratum (
lapisan) gas dengan berbagai-bagai yang kecil yang mungkin memasuki tahap
keadaan keras atau cair dan dalam suhu rendah atau tinggi. Ibn Kasir menafsirkan
dengan sejenis uap air. Ada juga yang melukiskan kehalusan dan keringan sifat
dukhan.
Supaya tidak terjadi kekeliruan dalam menangkap maksud kata dukhan yang
dihunbungakan dengan proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata ini
dipahami dengan hasil temuan sains yang telah terandalkan kebenarannya secara
emperis. Agar tidak menjadi suatu kesalahan bagi yang mengatakan bahwa ruang
alam (al-sama’) berasal dari materi
sejenis dukhan. Bukan pulah menunjukkan materi asal dari ruang alam (al-sama’) akan tetapi ia menjelaskan
tentang bentuk alam semesta ketika berlangsung fase awal penciptaannya. Hal ini
perkuat dengan hasil temuan ilmuwan bahwa pada suatu ketika dalam penciptaan
terjadnya ekspansi yang sdangat cepat sehingga timbul “kondensasi” di mana
energi berubah menjadi materi.
Sebagaimana dukhan al quran juga
menunjukkan bahwa zat alir atau sop kosmos (al-ma’)
telah ada sebagai salah satu konisi terwujudnya alam semesta. Dengan kata lain,
sebelum alam semesta terbentuk sekarang ia mengalami bentuk atau sifat semacam
zat alir atau sop kosmos.
Jadi, seperti yang telah disinggu sebelumnya, pembicaraan al-ma’ (zat alir) dalam surat Hud/ 11:7
erat kaitanya dengan proses penciptaan alam semesta, sedang surat
albaiya’/21:30 menjelaskan al-ma’
(air) sangat dibutuhkan dalam kehidupan atau dari air diciptakan sekalian
makhluk hidup. Surat al biya’ ini diperkuat dalam surat al- Nur/ 24:45 bahwa
Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kata al-ma dalam al qur’an dapat
diartikan sebagai zat alir secara umum . zat ini mempunyai wujud yang berbeda
ketika alam semesta dalam proses penciptaan, dan ia juga merupakan syarat
mutlak untuk terjadinya kehidupan.
Kemudian daoam al qur’an berturut-turut disebut bahwa alam semesta
diciptakan selama enam masa (tahap) atau priode. Secara global dalam surat hud/
11:7, 32:4, 41:9-12, 10:3, 7:54, 25:59, 50:38, 57:4,. Enam tahap tau priode
tersebut bukanlah menunjukkan urut-urutandalam penciptaan al-sama’ (ruang alam) dan al-ardh (materi) serta lainnya, tetapi ia
harus dipandang sebagai tahapan atau priode penciptaan alam semesta secara
keseluruhan dalam waktu yang sama.
Kata yaum dengan jamaknya ayyam (tahapan atau priode) dalam al
qur’an bukanlah dimaksud batasan waktu antara terbenamnya matahari hingga
terbitnya matahari seperti hari di bumi. Menurut kalam arab dan kebanyakan
ayat-ayat al qur’an, kata ini dipakaikan kepada suatu masa atau periode
(juz’min al-zaman) yang kadarnya tidak dapat ditentukan dan tidak ada seorang
pun yang mengetahui hakikatnya secara pasti kecuali Allah.. Jika diterjemahkan
satu hari sama dengan hari dunia sekarang ini tentu tidak logis dan ia juga
bertentasngan dengan ayat-ayat al qur’an yang lain. Yang dimaksudkan tidak
logis adalah satu hari
yang dimasudkan dalam al qur’an tidak sama dengan satu hari yang
dirasakan oleh manusia saat sekarang sebagaimana yang diungkap oleh al qur’an
dalam surat 22 :47, 32, 5, 70 :4
“Dan mereka meminta kepada
mu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan
menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari
di sisi Allah adalah seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung”(22:47)
“Dia mengatur urusan dari
langit (ruang alam’) ke bumi (materi) kemudian urusan itu naik kepada-NYa dalam
saatu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitungan mu”(32:5)
“Para malaikat dan Jibril
naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”
(70:4)
Dalam ayat-ayat di atas dikatakan satu hari sama kadarnya dengan seribu
tahun dan lima puluh ribu tahun menurut perhitungan hari di bumi. Jadi kata
seribu dan lima puluh ribu tahun menunjukkan betapa panjangnya waktu itu dan
ini merupakan pernyataan simbolik, yang diungkap oleh Allah. Hal ini dapat
dibukti ketika seorang yang telah pulang pergi ke orbit bulan tinggal berapa
lama di orbit bulan , mereka mengatakan hanya sebentar saja.
Adapun proses penciptaan alam semesta selanjutnya, yaitu Allah
melengkapinya dengan menciptakan hokum-hukum tertentu, yang disebut dengan
sunnahtullah. Hal ini dipahami dari
percakapan simbolik antara Allah di satu pihak dan ruang alam ( al-sama’) dan materi (al-ardh) di pihak
lain. Penafsiran ini ditopang sejumlah
ayat seperti 17:77, 33:62, 35:43, 48:23, 36: 38-40, 6:96. Hasil penelitian
ayat-ayat ini seutuhnya menunjukkan bahwa hokum-hukum alamyang telah ditetapkan
Allah tersebut tidak akan pernah berubah dan menyimpang. Alam semesta tunduk
kepada hokum-hukum rangan Allah tersebut. Dengan istilah lain, gerakan dan
edaran ruang alam(al-sama’) dan materi (al-ardh) serasi dan sejalan, tidak
saling bertentangan, ibarat tubuh yang satu.
Demikianlah proses penciptaan alam semesta yang dirangkai dari
isyarat-isyarat yang disinyalkan al qur’an. Sebagaimana disinggung sebelumnya
bahwa proses penciptaan alam semesta sebagai hasil “bacaan” terhadap “kitab
alam” dapat dilihat dari hasil observasi sains kealaman. Tidak cukup dengan
ungkapan ayat-ayat yang ada di dalam al
qur’an tanpa ada tinjauan dari ilmu pengetahuan yang bersifat kealaman.
Dalam kejadian penciptaan itu, alam semesta seisinya, terdapat di dalamnya
tanda-tanda kebesaran Allah, yang menjadi obyek pemikiran manusia. Melalui
pemikiran terhadap alam sekitar itu, manusia memperoleh kesadaran pengetahuan
untuk menyusun konsep-konsep dan berusaha mewujudkan konsep-konsep itu dalam
realitas kehidupan masyarakat untuk mencapai kemakmuran bersama. Dan realitas
semua usaha manusia untuk mengatasi persoalan yang dihadapi sebagai upaya untuk
meningkatkan kehidupannya adalah kebudayaan.
Dalam hubungan ini, penciptaan alam semesta seisinya tidaklah sia-sia,
bahkan merupakan dasar bagi upaya pembentukan kebudayaan. Dari hubungan dengan
alam yang ada di sekitar hidup manusia itu, manusia menempuh proses belajar,
dan pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar memahami alam sekitar
selanjutnya tumbuh berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
tingkat intelektual. Olaeh karena itu, realitas kebudayaan sepenuhnya
dipengaruhi oleh tahap-tahap perkembangan intelektual.
Sebagai khalifatullah di muka bumi, manusia mengolah dan membentuk apa yang
ada dalam alam semesta ini, menjadi bentuk baru berupa alam kebudayaaan. Dalam
proses pembentukan itu manusia harus selalu berpegang teguh pada
prinsip-prinsip
kebenaran yang terkandung dalam penciptaan alam dan ingat atas batas-batas
wewenang yang diterimanya dari Allah sebagai khalifatullah, sehingga manusia
bisa mendapatkan manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar