Cari Blog Ini

Kamis, 21 Juni 2012

AL-QUR’AN, SUNNAH RASUL DAN IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM


A. SISTEMATIKA SUMBER AJARAN ISLAM


Berpedoman dari surat an-Nisa’ ayat 59, para ahli sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama ialah :

  1. al-Qur’an
  2. as-Sunnah

Kesepakatan ini diperkokoh dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “Aku tinggalkan pada kalian dua pedoman hidup, yang siapa berpegang kepadanya selamatlah dia. Pedoman itu ialah Kitabullah dan Sunnahku”.

Dalam kesempatan lain, ketika Muaz bin Jabal akan berangkat ke Yaman sebagai Duta, Nabi bertanya kepada Muaz: “Hai Muaz, jika umat bertanya padamu tentang sesuatu masalah, dalil apa yang engkau gunakan?
Maka Muaz menjawab: “dengan al-Qur’an”
Nabi bertanya:”Jika tidak terdapat dalam al-Qur’an, bagaimana?
Maka Muaz menjawab:”dengan sunnahmu”
Nabi bertanya:”Jika tak ada dalam sunnahku dan al-Qur’an?
Maka Muaz menjawab: dengan ijithadku”

Berpedoman pada Sunnah Rasul ini, maka para ahli hukum Islam (Ahli fiqih) menambah sumber ajaran Islam yang ketiga yaitu Ijtihad. Dengan tiga ajaran Islam ini, terutama ijtihad memberi kesempatan bagi ulama-ulama zaman klasik untuk membuat Islam berkembang secara pesat, baik dari segi populasinya maupun dari aspek perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan /teknolgi, sampai memasuki priode abad XIII Masehi. Namun memasuki abad XIV Masehi, gejala kemunduran mulai tampak. Hal ini disebabkan sumber utama al-Qur’an dan sunnah mulai kurang mendapat analisis, sementara ijtihadnya lebih menonjol.
Dampaknya mentalitas umat melemah dan ketahanan umat turut ambruk. Ketika bangsa Tartar dari Cina menyerbu Bagdad, aparat kerajaan dan umat tak siap menghadapinya, yang berakhir jatuhnya kekahalifahan Abbasiyah di Timur Tengah, sedang bersamaan dengan itu pula bangsa Eropa menyerbu Cordoba yang menjadi pusat kerajaan Islam di Barat, yang berhasil merontokkan sisa kekhalifahan Bani Umaiyah di belahan Barat.

Suasana itu membuat para ahli fiqih periode berikutnya berfikir ulang tentang penggunaan ijtihad. Persyaratan ijithad dipersulit, sehingga orang tak berani lagi untuk berijtihad. Dikukuhkanlah sebagai sumber ajaran Islam berikutnya. Selain al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yaitu :

3.      Ijma’ ulama, yaitu kesepakatan para ulama tentang suatu masalah
4.      Qiyas, yaitu dlil yang diambil berdsarkan kasus yang hampir sama/mirip dengan asbabul nuzul (kasus yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an) atau asbabul wurud (kasus yang meyebabkan keluarnya Sunnah Rasul)

Selain sumber yang empat itu, ada sumber lain yang tidak menjadi kesepakatan par ulama, seperti istihsan yaitu mengambil dalil dari berbagai macam ide pemecahan yang ada lalu dipilih yang terbaik. Di samping itu ada maslahat mursalah yaitu mengambil dalil dengan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Ijma’, qiyas, istihsan dan maslahat mursalah dan lainnya, sebenarnya merupakan penjabaran dari ijtihad. Tetapi karena dipersulitnya persyaratan ijitihad, orang tak berani lagi berijtihad dan semua persoalan yang tak ditemukan pemecahannya dari ayatal-Qur’an atau Sunnah Rasul, orang lalu bertanya kepada ulama. Pengetahuan ulama yang sangat terbatas, memberi dampak lahirnya

faham dikotomi, yaitu pemilahan urusan dunia dan urusan agama. Urusan agama ditanyakan pada ulama, sedang masalah ilmu pengetahuan, teknologi politik dan kemasyarakatan menjadi bahasan para pakar. Akibatnya ulama dengan ajaran Islamnya terpojok pada satu sudut yang sempit, sementara bidang ilmu pengetahuan dn teknologi dianggap bukan kajian Islam.

B. AYAT-AYAT AL-QUR’AN YANG QATH’I DAN ZHANNI DALLALAH DN KEDUDUKANNYA SEBAGAI SUMBER HUKUM

1. Ayat-ayat al-Qur’an dari Segi Sumbernya

Ayat-ayat al-Qur’an bila ditinjau dari segi datangnya dn dinukilnya dari Rasul SAW kepada kita semuanya adlah pasti (qath’i). Artinya dapat dipastikan bahwa setiap ayat yang dibaca adalah hakekat nash al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan disampaikan oleh Rasul SAW kepada umatnya tanpa perubahan atau penggantian. Ketika turun kepadanya sebauh surat, atau suatu ayat kemudian disampaikan kepada para sahabatnya, dibacakan kepada mereka, dan ditulis oleh juru tulis wahyunya. Bahkan di antara sahabatnya ada yang menulisnya untuk dirinya sendiri. Di antara mereka banyak yang menghafal dan membacanya pada setiap waktu. Pada waktu Rasul SAW wafat, ayat al-Qur’an telah ditadwinkan (dibukukan) menurut kebiasaan pentadwinan orang Arab. Ayat-ayat tersebut juga telah dihafal oleh sebagian besar umat Islam. Abu Bakar al-Shidiq telah mengumpulkan al-Qur’an dengan perantaraan Zaid bin Tsabit dan sebagian sahabat yang dikenal hafalannya. Penulisannya menurut pentadwinan tersebut dan dihimpun satu sama lain menurut urutan yang pernah dibacakan oleh Rasul SAW kepadanya dan kepada para sahabat pada masa hidupnya. Himpunan ini, termasuk apa yang dihafal oleh para Huffaz, menjadi tempat kembali umat Islam dalam menerima al-Qur’an dan meriwayatkannya. Pemeliharaan himpunan ini telah dilakukan oleh Abu Bakar pada masa hidupnya dan pada masa Umar, himpunan ini ditulis ulang 4 kitab dan aslinya ditinggalkan kepada anak perempuannya, yaitu Hafshah, ummil mu’minin.

Ketika Utsman menjadi khalifah, himpunan al-Qur’an diambil dari Hafshah dan dinaskahkan dengan perantaraan Zaid bin Tsabit. Dengan dibantu beberapa tokoh besar Muhajirin dan Anshor, naskah ditulis menjadi beberapa naskah dan dikirm ke berbagai kota umat Islam. Dengan demikian Abu Bakar telah memelihara hasil pentadwinan ayat al-Qur’an, sehingga tidak sedikitpun ada yang hilang. Sedang Utsman menyatukan umat Islam pada suatu himpunan dari hasil pentadwinan tersebut dan menyebar luaskan pada umat Islam, sehingga terdapat dalam al-Qur’an adalah benar bersumber dari Allah. Aspek-aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif mengenal peradaban, seperti MesirPersia, atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup ditengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai “Kami adalah masyarakat yang ummi”. Aspek yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:  

Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksinya. Tidak mudah menguraikan hal ini, khususnya bagi yang tidak memahami dan  memiliki “rasa bahasa” Araby, karena keindahan diperoleh melalui “perasaan” dan bukan melalui nalar. Namun demikian ada satu dua hal yang berkaitan dengan al-Qur’an yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini.

Seperti diketahui, sering kali al-Qur’an “turun” secara spontan, untuk menjawab pertanyaan atau mengontari peristiwa, misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakekat Ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berfikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian setelah al-Qur’an diturunkan dan dilakukan analisis tentangredaksi-redaksinya,
ditemukan hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbanagan yang sangat serasi antara kata kata yang digunakannya dengan maknanya.

Diantara keseimbanagan tersebut, yang dapat disimpulkan secara
sangat singkat adalah sebagai berikut :

a. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan anatominya.

-          Al-hayah (hidup) dan al-Mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali,
-          Al-naf’u (menfaat) dan al-madhararah (mudarat), masing-masing seanyak 50 kali,
-          Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi’at (keburukan), masing-masing sebanyak 167 kali.

b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
  
-          Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati jiwanya), masing-masing sebanyak 17 kali,
-          Al-Qur’an, al-Wahyu, dan al-Islam (al-Qur’an,Wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali,
-          A’aqal dan an-nur (akal dan cahaya), masing-masing sebanyak 46 kali.

Kedua, adanya tantangan yang tegas yang diajukan al-Qur’an kepada seluruh umat manusia sejak abad ke 7, khususnya terhadap setiap manusia yang mengingkari kerisalahan al-Qur’an. Dengan kalimat yang tegas, al-Qur’an menyatakan dalam surat al-Isra’ ayat 88 :

“Katalah: “sesungguhnya jika manusia dn jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
Dan dalam surat al-Baqarah ayat 23:

“Dan jika kamu tetap dlam keraguan tentang al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad) buatlah satu surat saja yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolong selain Allah, jika kamu memang benar”.

Tantang yang dikemukakan  al-Qur’an terhadap manusia yang ragu akan kebenarnnya terdapat juga dalam surat Hud ayat 13-14, unus ayat 38, dan ats Tsur ayat 34. Apabila ad suatu kalam yang tidak mungkin manusia mendatangkan tandingannya, serta manusia gagal dalam menghadapi tantangan tersebut sepanjang sejarah, maka hal tersebut membuktikan bahwa kalam tersebut berasal dari Allah. Segala sesuatu yang bersumber dari Allah tidak mungkin ada yang mampu menghadapi tantangannya.

J. Sarwar dalam bukunya “Muhammad the Holy Prophet”  menceritakan kehidupan “Lubaid ibnu Rabi’ah”, seorang yang terkenal karena kepekaan kata-katanya, kefasihan lidahnya, dan kekuatan syairnya. Pada waktu Lubaid mendengar Nabi Muhammad SAW melancarkan tantang tersebut terhadap masyarakatnya, Lubaid membuat beberapa buah syair untuk menjawab tantangan yang didengarnya. Kemudian syair itu digantungkan di pintu Ka’bah, suatu keistimewaan yang tidak di dapat kecuali oleh sekelompok kecil penyair terkenal bangsa Arab. Pada waktu salah seorang kaum muslimin melihat hal yang diperbuat Lubaid dan bangkitlah semangat kehormatannya. Dia menulis beberapa ayat al-Qur’an, kemudian digantungkan di samping syairnya Lubaid. Pada hari berikutnya Lubaid lewat pintu Ka’bah dan pada waktu itu dia belum masuk Islam. Dia begitu terpesona oleh ayat-ayat tersebut, sehingga ia berteriak dengan kerasnya: demi Allah, ini bukan kata-kata manusia dan saya termasuk orang yang menyerahkan diri. Akhirnya pada tahun 9 H, Lubaid masuk Islam.

Dalam sejarah banyak contoh-contoh lain tentang orang-orang yang berusaha untuk menjawab tantangan ini, tetapi mereka gagal dalam usahanya. Diantaranya ialah: Musallamah al Kadzab, Thulailah bin Khuwalid al Asdi, An Nadhr bin ar Rawandi, Abu’l Thayyib al Mutanabbi, dan Abu’l Ala al Ma’ari. Merupakan hal yang tidak diragukan lagi, bahwa bangsa Arab yang dalam sejarah dikenal tidak ada bandingannya dalam kebalighan dan ilmu bayannya, ternyata terpaksa tunduk terhadap al-Qur’an dan mengakui secara jujur ketidak mampuan mereka untuk membuat suatu karya yang menyamai al-Qur’an walau satu ayatpun. Hal ini merupakan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Allah.

Ketiga, adalah pemberitaan gaibnya, misalnya kisah Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat Yunus ayat 92 yang menyatakan : “Badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut”. Tidak seorangpun mengetahui haltersebut, karena hal itu terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Pada tahun 1896 ahli purbakala yang bernama Loret menemukan mumi di lembah Raja-raja Luxor Mesir. Berdasarkan data-data sejarah terbukti bahwa mumi tersebut adalah Fir’aun yang bernama Maniptah dan pernah mengajar Nabi Musa A.S Pada tanggal 8 juli 1908 Elliot Smith mendapat izin dari pemerintahan Mesir untuk membuka pembalut mumi tersebut. Pada saat itu ditemukan satu jasad utuh, seperti yang diberitakan al-Qur’an melalui Nabi yang Ummiy. Setiap orang yang berkunjung ke Meseum Kairo, akan dapat melihat mumi Fir’aun tersebut.

Ramalan selanjutnya yang termuat dalam al-Qur’an adalah pernyatan tentang kekalahan pasukan Romawi oleh pasukan Persia yang terdapat dalam surat Rum ayat 1-6. Pada waktu terjadi peperangan antara Persia dan Romawi, pada suku bangsa di pusat ibu kota jazirah Arab, yaitu Mekkah, terjadi pula peristiwa serupa. Di kota tersebut terdapat orang-orang majusi Persia, penyembah matahari dan apai, dn orang Romawi yang beriman kepada al-Masih, serta nabi-nabi dan wahyu Allah. Orang-orang Islam dan orang-orang Romawi mengharapkan kekalahan orang kapir Mekkah dan orang Persia, sebab mereka penyembah benda-benda materi. Dengan demikian pertarungan yang terjadi antara orang Persia dan Romawi, menjadi lambang pertarungan yang terjadi antara orng Islam dengan orang musyrikin Mekkah. Pada waktu Persia berhasil mengalahakan Romawi pada tahun 616 dan berhasil menguasai seluruh wilayah sebelah timur negara Romawi, orang-orang musyrikin mendapat kesempatan untuk

menghina kaum Muslimin dengan mengatakan:”Saudara kami berhasil mengalahkan saudaramu. Demikian pula yang akan kami lakukan kepadamu, jika kamu tidak mau mengikuti kami dan meninggalkan agama yang baru”.  Dalam keadaan yang menyakitkan itu, kaum Muslimin di Mekkah sedang dalam kondisi yang paling lemah dan paling buruk dalam segi materi, kemudian turun firman Allah surat Rum ayat 1-6 ini. Beberapa tahun kemudian, Heraklius dari Romawi membuat suatu rencana untuk mengalahkan Persia. Heraklius tahu bahwa kekuatan angkatan laut Persia lemah. Oleh karena itu dia menyiapkan kapal-kapal untuk menyerang Persia dari belakang. Menghadapi serangan yang mendadak, psukan Persia tidak mampu bertahan dan lari bercerai-berai.

Setelah menang dalam dua peperangan yaitu Armenia dan Asia Kecil, Heraklius melakukan peperangan yang lain melawan Persia pada tahun 623, 624 dan 625. Akibat peperangan tersebut, pasukan Persia menarik diri dari seluruh tanah Romawi dan Heraklius berada pada pusat yang memungkinkan untuk menembus ke jantung kekaisaran Persia. Akhirnya perng yang terakhir terjadi pada bulan Desember 627 di sepanjang sungai Dajah. Dalam situasiyang demikian buruk, Persia tidak mungkin dapat melanjutkan peperangan melawan Romawi. Oleh karena itu akhirnya Kavadh II putera Kisra Chorous meminta damai dan mengusulkan pengnduran diri pasukan Persia dari tanah Romawi. Pada bulan maret tahun 628 M, Heraklius kembali ke Konstatinopel dengan pesta-pesta besar-besaran. Dengan demikian benarlah apa yang diramalkan al-Qur’an tentang kemenangan Romawi.

Keempat, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam al-Qur’an misalnya tentang penciptaan alam raya. Al-Qur’an menyajikan suatu inti landsan tentang kejadian dan terciptanya alam raya. Dinyatakan dalam surat al-Anbiyaa ayat 30:

 “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya adalahsuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”.
Dan dalam surat Fussilat ayat 11: “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih berupa gas, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “datang lah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan sesuka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.

Kalau dipelajari teori Gamow tentang terciptanya alam raya, nampaknya ada persamaan dengan kedua ayat tersebut di atas. Teori Gamow menyatakan bahwa alam raya ini merupakan satu kesatuan yang volumenya sangat kecil sekali. Karena adanya kepadatan massa yang tinggi, maka terjadi ledakan yang maha dahsyat. Hal ini menyebabkan massa yang ada terurai menjadi bagian-bagian yang paling elementer, yakni proton dan elektron. Bagian-bagian inilah yang selanjutnya sangat berperan dalam pembentukan zat-zat kimia yang lain. Kecenderungan ini didorong oleh adanya temperatur yang sangat tinggi yang timbul sebagai akibat adanya kepadatan yang luar biasa sebelumnya.

Sebenarnya letak persesuaian antara teori Gamow dengan al-Qur’an bukan hanya di situ saja. Gamow menyatakan bahwa ledakan tersebut terjadi segera setelah massa tersebut tersumbat. Al-Qur’an dalam hal ini menyebutkan dengan kalimat “kata “fa” di awal kata tersebut, sebagaimana penggunaannya dalam bahasa Arab, berarti “kemudian”. Akan tetapi berbeda  dengan kata “tsumma” yang juga berarti “kemudian”. Kata “fa” menunjukkan keberuntutan peristiwa secara langsung. Sedangkan kata “tsumma” menunjukkan keberuntutan peristiwa, tetapi ada selang waktu untuk menuju ke peristiwa selanjutnya. Dengan demikian, ledakan yang terjadi menutut al-Qur’an adalah langsung setelah terjadinya penempatan massa yang sangat tinggi.

Tujuh tahun kemudian (1929), seorang ilmiawan astrofisika Amerika Serikat bernama Edwin B. Hubble, berdasarkan pengmatannya terhadap galaksi-galaksi di alam raya ini berekspansi (berkembang) menurut model matematika seperti apa yang ditemukan Einstein dan Friedman. Dengan demikian Hublle telah membuktikan bahwa alam raya benar-benar berkembang dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Hasil penemuan para ilmiawan di atas membawa keharuan pada diri umat Islam, sebab hasil penemuan itu membuktikan kebesaran al-Qur’an sebagai wahy Allah. Al-Qur’an memang telah menyatakan bahwa alam raya ini terus menerus berkembang, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat adz Dzariyat ayat 47: “Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami, dan sesngguhnya Kami telah meluaskannya”.

Ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa di antara semua benda-benda di alam raya terjadi gaya tarik menarik, sehingga dengan berkembangnya alam raya berakibat tercapainya keseimbangan di antara seluruh benda-benda di alam raya. Dengan kata lain, menciptakan hukum keseimbangan di antara benda-benda tersebut, sehingga kestabilan orbit akan tetap terpelihara dan sekaligus meniadakan tumbukan di antara benda-benda di alam raya. Menurut Newton, kondisi ini tercapai karena adanya keharmonisan antara gerak revolusi dengan gaya tarik menarik di antara benda-benda atau planet-planet di alam raya.

Dalam hal ini al-Qur’an telah jauh mendahului penemuan Newton. Al-Qur’an yang diturunkan pada abad ke 7 telah mengungkapkan dalam surat ar-Rahman ayat 7 bahwa Allah meluaskan alam raya bukan sia-sia, tetapi untuk menciptakan keseimbangan di antara benda-benda angkasa, sehingga tidak terjadi saling tumbuk antara yang satu dengan yang lainnya. Semua aspek tersebut menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan al-Qur’an adalah benar-benar bersumber dari Allah. Dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mau mengamalkan petunjuk-petunjukNya. Hanya sayang, para peneliti alam jaga raya ini pada umumnya adalah orang-orang non Islam, sementara umat Islam sampai saat ini masih sangat kurang minatnya untuk meneliti.

2. Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi Penunjukkan (Dalalah)

Ayat-ayat al-Qur’an bila ditinjau dari aspek dalalahnya atas hukum-hukum yang dikandungnya, dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a.       Ayat-ayat qoth’I dalalahnya atau yang muhkam
b.      Ayat-ayat Zhonni dalalahnya atau yang mutasyabih

Ada dua macam dalalah tersebut dijelaskan Allah dalam surat Ali Imran ayat 7. Ayat-ayat Qath’I dalalahnya ialah ayat yang menunjukkan pada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima ta’wil dan tidak ada tempat bagi pemahaman arti yang lain itu, seperti firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 12 :” Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak”.

Ayat ini penunjuknya pasti, artinya bagian suami dalam keadaan tidak punya anak adalah seperdua, tidak lebih dan tidak kurang. Serta seperti firman Allah dalam soal menindak laki-laki dan perempuan yang berzina dalam surat an-Nur ayat 2: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera”. Ayat ini penunjuknya pasti juga, artinya had zina adalah seratus kali dera, tidak lebih dan tidak kurang.

Ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan dalam bentuk yang muhkam, penunjukkannya terhadap hukum adalah pasti (qath’i dalalah). Tidak mungkin dipahami dari maksud yang lain dan tidak mungkin pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda-beda. Hukum yang ditunjuk secara pasti berlaku universal dan tidak mengalami perubahan walaupun waktu dan tempat sudah berubah.

Penunjukkan yang pasti berlaku dalam bidang akidah seperti keesaaan Allah dan ibadah pokok seperti keharusan shalat, serta dalam hal baik dan buruk yang tidak akan mengalami perubahan seperti keharusan berbuat baik kepada orang tua.

Ayat-ayat yang Zhonni dalalahnya ialah ayat yang menunjukkan pada makna yang memungkinkan ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asal (lugowi) kepada makna yang lain. Adanya kemungkinan berbagai pemahaman dapat disebabkan oleh dua hal: pertama, lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama, misalnya lafaz quru dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.

Lafaz quru’ dalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid. Sedang nash menunjukkan bahwa wanita-wanita yang ditalak menahan diri atau menunggu tiga kali quru’. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan adalah tiga kali suci atau tiga kali haid. Hal ini berarti tidak pasti dalalahnya pada satu makna dari dua makna tersebut. Oleh karena itu para mujtahidin berselisih pendapat apakah ‘iddah wanita yang ditalak tiga kali haid atau tiga kali suci.

Penjelasan yang bersifat Zhonni umumnya berlaku dalam bidang muamalat dalam arti luas, yang mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya dalam kehidupan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat selalu berkembang, maka penerapan hukum akan mengalami perubahan. Dalam bidang inilah berlaku kaidah: “Perubahan hukum berdasarkan perubahan waktu dan tempat” dan berlaku pula padanya reformulasi bila keadaan menghendaki, misalnya poligami pada suatu waktu dan tempat dinyatakan boleh bahkan harus, serta pada waktu dan tempat lain dapat dinyatakan dilarang. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa masalah qath’I dn zhonni bermuara pada sejumlah argumentasi yang maknanya disepakati oleh ulama (mujma’alyah), sehingga tidak mungkin lagi timbul makna yang lain kecuali makna yang
telah disepakati.

C. Kualitas Sunnah Rasul / Hadist.

Dikalangan umat Islam, kata Sunnah Rasul kurang populer dibanding dengan hadist, padahal nabi menyebutkan kata “Sunnahku”. Dilihat dari sudut bahasa, keduanya mempunyai arti yang sama. Sunnah Rasul ialah apa yang diperbuat, atau dikatakan atau sikap yang ditunjukkan oleh Rasul tentang sesuatu hal atau masalah. Sunnah ini dapat kita kenal melalaui ucapan para sahabat yang dicatat oleh generasi tabi’it-tabi’in yang dipelopori oleh Buchari dan Muslim. Sedang hadist ialah ucapan para sahabat tentang apa yang diperbuat atau dikatakan atau sikap yang ditunjukkan oleh Rasul tentang sesuatu hal atau masalah. Hadist ini juga dikenal melalui catatan yang diangkat oleh para tabi’it-tabi’in.

Perbedaannya terletak pada rangkaian peristiwa untuk menilai apakah ungkapan tentang apa yang diperbuat, dikatakan atau sikap Rasul itu bernilai sunnah atau hadist, dapat dianalisa dari apakah ungkapan itu ada rantaian peristiwa atau ungkapan lepas. Jika ada rangkaian peristiwanya (yang dlam istilah ilmu hadist asbabul wurud), maka ungkapan itu dapat disebut sebagai sunnah Rasul. Tetapi jika ungkapan itu merupakan kalimat lepas, maka ia disebut hadist.
Oleh karena itu sunnah Rasul lebih banyak dapat diikuti dari buku-buku tentang kisah kehidupan Rasul. Sedangkan hadist dapat dipelajari dari kitab-kitab hadist yang telah disusun oleh para ulama hadist yang dipelopori oleh Buchari dan Muslim. Namun harus dicermati bahwa dalam kitab-kitab hadist itu juga terdapat ungkapan tentang Rsul yang bersifat ungkapan lepas atau yang ada untaian peristiwanya. Disinilah diperlukan ketelitian dn kejelian.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sunnah Rasul lebih tinggi kualitasnya dibanding dengan hadist. Bagi para ahli hadist, pembahasan tentang kualitas hadist, digolongkan sebagai hadist maqbul dan mardud. Yang dimaksud dengan hadist maqbul menurut bahasa adalah “yang diterima”. Yang dimaksud dengan hadist mardud menurut bahasa  adalah “yang ditolak atau yang tidak diterima”.

Dengan demikian hadist maqbul adalah hadist yang dapat diterima atau pada dasarnya dapat dijadikan hujjah (sumber hukum) atau dalil, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengamalan syari’at, dapat dijadikan alat istinbath (penetapan) dan bayan (penjelasan) terhadap al-Qur’an. Sedangkan hadist mardud adalah hadist yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah.

Berpedoman pada jumlah perawi, hadist terbagi pada 2 macam, yaitu Hadist mutawatir dan hadist ahad. Hadist mutawatir tergolong sebagai hadist yang maqbul, sedang hadist ahad ada yang maqbul dan ada yang mardud.

a.       Hadist mutawatir, yaitu hadist yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut adat, bersepakat untuk mengabarkan berita itu dengan dusta.

Syarat hadist mutawatir adalah sebagai berikut :
1)      Pemberitaan hadist yang disampaikan oleh para perawi harus berdasarkan tanggapan pancaindra, baik indra penglihatan maupun pendengaran. Apabila pemberitaan itu hasil pemikiran semta-mata atau hasil rangkuman analisis dari suatu peristiwa ke peristiwa yang lain, atau hasil istinbath dari satu dalil lain, maka berita tersebut bukanlah hadist mutawatir.
2)      Banyaknya perawi sampai pada jumlah beberapa orang, yang menurut adat, mustahil mereka bermufakat dusta. Jumlah perawi adalah relatif dan tidak ada batas tertentu. Yang dipersyaratkan
                 3) adalah adanya kesan bahwa pada pemberitaan  tersebut, dari segi jumlah pemberitaannya, tidak mungkin bersepakat dusta. Menurut Abu Thayib 4 orang, Ash-hab al Syafi’I 5 orang dan ulama lain 20 orang atau 40 orang.
4)      Adanya keseimbangan jumlah perawi di awal sanad, di pertengahan dan selanjutnyanya dalam bilangan mutawatir.

Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat pendapatnya, bahwa hadist mutawatir memberi faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk diterima bulat-bulat, hingga membawa pada keyakinan yang qath’i. Hadist mutawatir derajatnyasangat tinggi, hampir seimbang dengan al-Qur’an dalam hal qath’I wurudnya. Hadist mutawatir dengan syarat di atas sulit ditemukan. Bahkan ada ulama yang mengatakan, bahwa hadist mutawatir lafzhi hampir tidak ada.

Bila ada ulama berpendapat, bahwa terdapat hadist mutawatir, maka hal itu karena menggunkan syarat yang tidak maksimal seperti di atas dan tidak berdasarkan jumlah perari pada sanad yang eksplisit pada kitab-kitab hadist, namun menggunkan informasi dan qarinah lain, bahwa jumlah sumber beritanya mutawatir. Hadist mutawatir tidak diteliti lagi keadilan dankualitas perawi, karena jumlah perawi sudah menjadi jaminan tidak adanya persepakatan dusta. Hadist mutawatir tidak menjadi obyek pembicaraan ilmu hadist dari segi maqbul dan mardud. Pembicaraan kualitas hadist berlaku di lingkungan hadist ahad.

b.  Hadist Ahad, adalah hadist yang para perawinya tidak sampai pada jumlah perawi hadist mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir, dan tidak sampai derajat mutawatir. Hadist ahad terbagi menjadi :
(a)    Hadist Shahih, (b) Hadist Hasan dan (c) Hadist Dha’if.
Hadist Shahih dan Hadist Hasan nilainya maqbul sedangkan Hadist Dha’if nilainya mardud.

1. Hadist Shahih, adalah hadist yang diriwatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber’ilat, dan tidak janggal, Menurut pengertian di atas, suatu hadist dinilai shahih apabila memenuhi syarat :
     - Perawinya bersifat adil
     - Perawinya sempurna ingatan atau kedhabithan
     - Sanadnya bersambung
     - Matannya marfu’(bahasanya halus)
           - Tidak ada ‘illat atau cacat
           - Tidak janggal
  
      2. Hadist Hasan, adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan. Hadist Hasan hampir sama dengan Hadist Shahih. Perbedaanya hanya dalam soal kedhabithan perawi. Hadist Shahih perawinya sempurna ingatannya, sedang Hadist Hasan perawinya tidak sempurna ingatannya.

1.      Hadist Dha’if, adalah hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadist Shahih dan Hadist Hasan. Hadist Dha’if bermacam-macam dan kedha’ifannya
bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat Hadist Shahih dan Hadist Hasan, baik mengenai perawi, sanad maupun matannya.

Para ulama sepakat, bahwa hadist dha’if tidak boleh digunakan sebagai dalil dalam menentukan hokum. Namun demikian mereka berbeda pendpat tentang penggunaannya dalam fadhailul’amal (keutamaan-keutamaan amal) baik yang berhubungan dengan targhib (memberi dorongan untuk melakukan yang baik) maupun tarhib (menimbulkan rasa benci terhadap perbuatan jelek). Imam Buchari dan Imam Muslim sependapat untuk tidak menggunakan hadist dha’if dlam bidang apapun, termasuk dalam masalah fardhailul’amal. Mereka berpendapat demikian karena lebih aman dari kemungkinan seseorang menghubungkan sesuatu perkataan atau perbuatan kepada Nabi SAW, padahal Nabi tidak mengatakan atau melaksanakannya. Hal itu mengakibatkan terkena ancaman masuk neraka, karena berdusta kepada Nabi SAW, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa menceritakan sesuatu hal dariku, padahal ia tahu bahwa itu bukan ucapanku, maka orang itu termasuk golongan pendusta (riwayat Buchari dan Muslim)”.
Dalam sebuah hadist yang mutawatir Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang berdusta atas namuku dengan sengaja, maka hendaklah menyediakan tempat duduknya dari apai neraka”.

Imam Nawawi  sebagai ahli hadist dan ahli fiqih berbeda pendapat dengan Imam Buchari dan Muslim, karena ia membolehkan menggunakan hadist dha’if dalam fardhu’ilul amal, selama hadist itu bukan hadist maudhu’(palsu). Ada catatan khusus dari Imam nawawi, yakni penggunaan hadist dha’if hanya boleh untuk menerangkan keutamaan amal yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadist lain yang shahih atau setidak-tidaknya Hadist Hasan. Imam Ibnu Hajar berpendapat sama dengan Imam Nawawi dan beberapa
orang ahli hadist dan fiqih, hanya beliau menetapkan beberapa persyaratan, antara lain :

1)      Kedha’ifan hadist itu tidak terlalu jelek, seperti perawinya bukan orang yang suka dusta, dituduh dusta, atau sering keliru dalam meriwayatkan hadist.
2)      Keutamaan perbuatan yang dijeskan hadist dha’if sudah tercakup dalam keterangan atau adil lain baik al-Qur’an maupun hadist, yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatn yang sama sekali tidak memiliki dasar.
3)      Tatkala menggunakan hadist dha’if tidak boleh meyakinkan bahwa perbuatan itu pernah dilaksanakan atau dikatakan oleh Rasulullah SAW, supaya terhindar dari menghubungkan sesuatu perbuatan atau perkataan Rasulullah yang tidak dilakukannya.

Akhir-akhir ini dikenal istilah hadist Israiliyat yaitu hadist yang diriwayatkan oleh orang-orang Israel yang mengaku mendengar nya dari Nabi. Maksud utamanya adalah untuk lebih mengagung kan bani Israil. Hadist-hadist ini termasuk hadist mardud.

Cara pertama menetukan keshahihan hadist dengan menggunakan kaidah keshahihan hadist, disebut metode Tash-hih. Metode dan cara ini digunakan para perawi waktu menyeleksi dan menyaring hadist untuk keperluan penulisan hadist. Mereka menerima ribuan bahkan ratusan ribu hadist dan dihafal lengkap dengan sanadnya, kemudian diteliti keadaan matan, perawi dan sanadnya. Setelah yakin akan kemurnian hadist, baru hadist ditulis dalam Kitab Hadist.

Cara kedua mengetahui kualitas hadist adalah dengan menggunakan petunjuk dari hal-hal yang dapat menunjukkan kualitas hadist. Di antara petunjuk yang dapat menunjukkan pemahaman tentang kualitas hadist adalah jenis Kitab hadist, penjelasan Kitab Syarah, atau penggunaan hadist oleh para ahli dalam cabang ilmu agama Islam. Metode atau cara tersebut dinamakan metode I’tibar, yaitu mencari dan mendapatkan petunjuk untuk mengetahui kualitas hadist.

D. FUNGSI SUNNAH RASUL/HADIST DALAM SYARIAT ISLAM

Al-Qur’an adalah sumber ajaran yang pertama dan As-Sunnah adalah sumber yang kedua setelah al-Qur’an. Seorang muslim tidak bisa hanya menggunkan al-Qur’an saja, karena ia juga harus percaya kepada sunnah sebagai sumber ajaran. Hal itu karena kandungan al-Qur’an masih bersifat global dan perlu perincian yang oprasional. Keharusan menggunakan Sunnah banyak diungkapkan al-Qur’an dalam surat Muhammad ayat 33 :

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul dan janganlah kamu merusakkan amal-amalanmu”.

Taat kepada Allah mengikuti perintah yang tercantum dalam al-Qur’an dan taat kepada Rasul adalah mengikuti sunnahnya. Oleh karena itu orang yang beriman hanya merujukkan pandangan hidupnya kepadaq al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan rujukan yang pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat Islam, sehingga perselisihan tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :

“Hai orang-orang yang beriman, taailah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Pada ayat di atas tampak dengan jelas bahwa rujukan untuk menyelesaikan perselisihan pendapat adalah kembali kepada sumber, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu Sunnah merupakan rujukan perilaku yang dikehendaki al-Qur’an, sehingga apa yang diinginkan al-Qur’an dapat dilihat dari apa yang dilakukan Rasul. Oleh karena itu, belaiu menjadi teladan yang nyata bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 21:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatngan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah”.

Sunnah sebagai sumber kedua bagi ajaran Islam, menerangkan segala yang dikehendaki al-Qur’an. Menurut Ahlu al-Ra’yi (ahli fikir), suatu ayat-ayat al-Qur’an yang khas penunjukkannya tidak memerlukan lagi penjelasan hadist. Ahlu-Hadist berpendapat, bahwa segala Hadist Shahih harus dipandang menjelaskan al-Qur’an, mentakhshiskan umum al-Qur’an, atau membatasi kemutlakan al-Qur’an. Dari pendapat para ulama tentang fungsi hadist sebagai dasar hukum Islam dan fungsi hadist sebagai penjelasan dan interpretasi terhadap al-Qur’an, dapat dirumuskan beberapa fungsi hadist sebagai berikut :

a.       Memperkuat apa yang diterngkan al-Qur’an, misalnya hadist Nabi SAW tentang melihat bulan untuk berpuasa ramadhan: “berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”(H.R. Bukhari dan Muslim)
b.      Menerangkan apa yang tidak mudah diketahui (tersembunyi pengertianya), misalnya hadist Nabi SAW: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c.       Mengganti suatu hukum atau memperjelas. Al Baqarah ayat 180menyatakan: “Tetaplah atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertqwa”.

Nabi menyatakan “tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Jika ayat tersebut menyuruh berwasiat kepada orang tua, padahal orang tua itu termasuk ahli waris, maka hadist yang menyatakan “tak ada wasiat bagi ahli waris”, memberimakna bahwa dalam wasiat yang ditinggalkan pada orang tua atau kerabat itu, tidak mengatur bagian tambahan atau pengurangan hak orng tua tersebut. Di sisi lain, ayat ini memerintahkan memberi wasiat tanpa batas. Batasan wasiat ditentukan dalam Sunnah, yaitu ketika Sa’ad bin Abi Waqas ingin berwasiat dengan 2/3 dari kekayaannya, oleh Rasululllah dilarang. Kemudian ia mengajukan lagi dengan 1/2 nya, tetapi beliau menolaknya juga. Akhirnya ia mengajukan lagi dengan 1/3 dari kekayaannya, dan Rasulullah mengizinkan dengan kata-katanya sebagai berikut : “Ya sepertiga, sepertiga itu banyak atau besar. Sebab seandainya kamu meningglkan ahli warismu dlam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada kamu meningglkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang lain” (Bukhari dan Muslim).

d.      Memberi keterangan secara luas pada sesuatu yang diterangkan secara ringkas oleh al-Qur’an, dalam surat at-Taubah ayat 118:  “Dan atas tiga orang yang tidak mau pergi, yang tinggal di tempat tidak turut pergi ke medan perang”.
Kisah yang dimaksud oleh ayat ini dijelaskan panjang lebar oleh hadist yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’I dan Inbu Majah sebab Nabi SAW mencegah orang lain berbicara dengan ketiga orang tersebut.
e.       Mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam al-Qur’an, seperti : mengaharamkan pernikahan mereka yang sepersusuan, mengingatkan hadist: Haram lantaran radha’

f.       (sesusuan) apa yang harm lataran nasab (keturunan) (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
g.      Mengkhususkan sesuatu dari umum ayat, misalnya, Allah mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi (al-Maidah ayat 3).
Dalam hal ini ada hadist yang mengecualikannya, yaitu :
“Dihalalkan bagi kamu dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang. Sedang dua macam darah adalah hati dan limpa (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sunnah/ hadist merupakan sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dan umat Islam harus mengikuti sebagaimana harus mengikuti al-Qur’an. Allah mewajibkan umat Islam mengikuti dan mentaati Rasul SAW, yakni dengan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Hasyr ayat 7: “Dan apa yang didatangkan Rasul ambil olehmu, dan apa yang dicegah Rasul hentikan olehmu”.

Yang dimaksud dengan mengikuti Rasul SAW, atau melaksana kan perintahnya dan meninggalkan larangannya adalah dengan
mengikuti Sunnahnya atau hadistnya, yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya. Wajibnya mengikuti Rasul SAW berlaku bagi semua umat, serta untuk seluruh masa dan tempat.

E. RUANG LINGKUP IJTIHAD

Ijtihad adalah usaha yang bersungguh-sungguh dalam mempergunakan daya fikir untuk memahami ayat-al-Qur’an dan Sunnah yang penunjukanmaupun kebenaran materinya zhanni, serta memecahkan permasalahan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mahmud Syaltut menyatakan, bahwa ijtihad mencakup dua pengertian yaitu :

a.       Penggunaan fikiran untuk menemukan suatu hukum yang tidak ditentukan secra eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah.
b.      Penggunan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari suatu ayat atau Sunnah.

Ijtihad yang dilakukan Nabi Muhammad dan kaumnya berdasarkan pada wahyu Allah. Kegiatan yang mereka lakukan adalah memahami dan meneliti makna al-Qur’an, sehingga petunjuk Allah dapat diketahui secara tepat guna. Dalam melakukan ijtihad, harus berpedoman pada prinsip-prinsip wahyu Allah, yakni al-Qur’an menurut Sunnah Rasul. Ijitihad yang tidak bersadasrkan pada pirinsip al-Qur’an jelas tidak akan membawa ke arah perbaikan nasib umat Islam. Ikatan-ikatan yang membelenggu alam fikiran selama ini, harus ditinggalkan dan kelapang dadaan pelaku ijtihad sangat diperlukan. Buku-buku lain yang ada, kedudukannya hanya sebagai pembantu. Jika tepat tentunya dapat dipakai dan kalau ternyata tidak sesuai dengan prinsip al-Qur’an menurut Sunnah Rasul harus dibuang. Ada pun dasar keharusan berijtihad antara lain terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 59.

Pengertian-pengertian al-Qur’an yang didasarkan atas buku-buku yang ditulis oleh manusia, perlu diteliti kebenaranya dan sikap subyektif atau pengaruh budaya tertentu harus dijauhkan. Seorang mujtahid yang berijtihad dalam rangka popularisasi atau mendapatkan imbalan jasa, serta memperoleh posisi dan kedudukan, dapat berakibat mencelakakan nasib umat Islam dan bangsa.

Tujuan yang ingin dicapai dalam berijtihad adalah mengerti dan memahami nilai-nilai yang obyektif dari Allah.  Seorang mujahid harus jujur dalam melakukan ijtihadnya,. Kalau ada tanggapan yang dinilai lebih obyektif harus diakui secara jujur. Tidak perlu seorang mujahid merasa sangsi untuk mencabut, atau meralat kesalahannya. Pengertian tentang keIslamannya yang ada selama ini harus dikaji. Buku-buku standar yang dipergunakan khususnya terjemahan al-Qur’an bukan mutlak sifatnya. Dengan demikian apabila ada pemahaman mengenai al-Qur’anyang tidak sama dengan yang ada, harus diperhatikan dan dipelajari dengan baik.

Ukuran salah benar tentang keislaman bukan berdasarkan keyakinan mayoritas pendapat yang dijadikan standar. Justru merombak alam fikiran yang mayoritas tetapi tidak benar, inilah yang menjadi tujuan ijtihad. Apabila tidak demikian, maka namanya bukan ijtihad melainkan ittiba’. Resiko sebagai seorang mujtahid akan mendapat tantangan dari berbagai pihak, yang telah mantap dengan ajaran-ajaran yang ada. Tantangan yang paling berat adalah dari para cendikiawan atau ulama yang telah berkarat dengan fanatisme madzab.

Semua peristiwa yang terjadi di dunia pasti ada aturannya dari Allah. Aturan Allah telah ditemukan secara qauliyah dalam al-Qur’an dan secara kauniyah pada alam semesta. Ketentuan Allah ini dapat ditemukan pada tiga kemungkinan yaitu :

a.       Dalam lafad al-Qur’an sesuai dengan yang disebutkan secara harfiah. Bentuk ini disebut ketentuan yang tersurat dalam al-Qur’an.
b.      Tidak ditemukan secara harfiah dalam lafad al-Qur’an, tetapi dapat ditemukan melalui makna yang tersirat dari lafad yang disebut dalam al-Qur’an.
c.       Tidak dapat ditemukan baik dari lafad maupun dari makna tersirat yang ada dalam al-Qur’an, tetapi dapat ditemukan dalam realitas pada ciptaan-Nya.

Untuk mengetahui ketentuan Allah dalam bentuk pertama, cukup dengan memperhatikan apa yang tersurat dalam al-Qur’an dan penjelasan-penjelasan dalam Sunnah. Dalam hal ini peranan ijtihad tidak berarti. Tetapi dalam memahami ketentuan dalam bentuk kedua dan ketiga sangat diperlukan ijtihad. Untuk mengetahui ketentuan Allah yang tersirat di balik suatu lafad, dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunakan ijtihad. Daya nalar yang kuat sangat diperlukan, guna mengetahui hakekat dan makna yang terkandung pada suatu lafad al-Qur’an, sehingga memungkinkan menerapkan ketentuan yang berlaku dalam lafad tersebut pada kejadian lain yang timbul dari ungkapan itu.

Bentuk ajaran yang tersirat adalah ajaran yang tidak jelas secara harfiah. Usaha yang sungguh-sungguh sangat diperlukan untuk menggalinya, kemudian memformulasikannya dalam suatu ajaran. Walaupun ajaran atau ketentuan tersebut kelihatannya ditemukan oleh para ulama yang melakukan ijtihad, tetapi pada hakekatnya hal itu merupakan penggalian ajaran Allah yang tersirat dibalik lafad yang nyata.

Apabila ajaran-ajaran yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an dianalisa, maka dapat difahami bahwa pada prinsipnya Allah menetapkan suatu ajaran adalah untuk kemaslahantan manusia, baik dalam bentuk manfaat maupun menghindari kerusakan. Hakekat dari tujuan ajaran tersebut dapat dijadikan dasar para mujtahid dalam menetapkan suatu ketentuan. Oleh karena itu, apabila ada suatu kejadian terdapat maslahat yang bersifat umum dan tidak ada dalail ayat al-Qur’an dan sunnah yang bertentangan dengan kejadian itu, maka para mujtahid dapat menetapkan hukumnya. Usaha penemuan hokum dengan cara semacam itu disebut dengan maslahat mussalah.

1. Ruang Lingkup Ijtihad

Pada prinsipnya ijtihad dipergunakan dalam menetapkan suatu ajaran, apabila dalam masalah tersebut tidak terdapat aturan-aturan secara tegas. Di samping itu ijtihad dapat pula digunakan untuk hal-hal yang sudah diatur oleh ayat dlam pengaturannya tidak secara pasti. Dengan demikian ijtihad dapat digunakan dalam dua hal :
a.       Dalam masalah yang sudah diatur oleh nash, tetapi dalilnya atau penunjukkan dalilnya bersifat zhanni, yaitu mengandung unsure keraguan dan kesamaran, baik berkaitan dengan arah sumbernya ataupun makna dan tujuannya, maka dalam hal ini terdapat ruang untuk berijtihad. Keraguan itu bisa dating dari arah sanad dan rawi sebuah hadist, sehingga harus diteliti terlebih dahulu mengenai kelayakan mereka satu persatu dalam periwayatannya, sebelum dapat ditetapkan apakah hadist yang mereka riwayatkan bisa dijadikan dalil atau tidak. Adakalanya pula, suatu hadist telah diyakini ke-shahih-an sumbernya, namun susunan kata-katanya ataupun materinya masih menimbulkan keraguan dan ketidakpastian dlam memahami makna dan tujuannya. Mungkin pula bersama ayat itu terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum dapat dijadikan dalil. Bentuk memberi kemungkinan untuk melakukan ijtihad. Dalam hal ini peranan ijtihad adalah untuk menemukan alternatif-alternatif. Pendapat yang timbul tidak akan bertentangan dengan dalil, karena dalil tidak memberikan petunjuk yang pasti.

b.      Dalam masalah yang tidak ada ketentuannya sama sekali. Untuk hal ini para ulama menetapkan suatu ketentuan baru yang tidak bertentangan dengan ketentuan ayat yang sudah ada, karena memang ayatnya belum ada. Kemungkinan lain lahir ketentuan ulama kemudian yang berbeda dengan ketentuan ulama sebelumnya. Hal ini tidak perlu dipersoalkan, karena masing-masing mempunyai kekuatan yang sama. Pengembangan dan perbedaan pendapatan dalam Islam merupakan suatu yang dibenarkan.

Dalam hal yang tidak ada dalilnya, tetapi dapat dikaitkan dengan lafad yang ada pada ayat dalam bentuk ketentuan yang tersirat, maka ijtihad dapat digunakan sebagaimana yang berlaku pada bentuk di atas, selama hasil ijtihad tidak bertentangan dengan ketentuan harfiah dalam ayat. Perbedaan pemahaman dengan ulama sebelumnya tidak menjadi masalah dan hal ini menunjukkan adanya pengembangan pemikiran ajaran Islam.

Mengenai masalah yang sepenuhnya bersifat duniawi atau teknis, semua ulama sepakat tentang digunakanya ru’ya atau penalaran untuk mengatur dan menanganinya, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman serata kemajuan ilmu pengetahuan. Misalnya, hal-hal yang menyakut sistem dan peralatan pertanian, pengangkutan, komunikasi, peperangan, kedoktoran, dan sebagainya.  Dalam hal ini Nabi SAW pernah bersabda: “Kalian lebih mengetahui daripada aku mengenai urusan-urusan  duniamu”. Demikian pula jika tidak dijumpai ayat apapun mengenai suatu masalah, maka dalam hal ini terbuka pula kesempatan seluasnya untuk berijtihad dalam mencari hukumnya. Sebaliknya tidak ada ijtihad dalam masalah yang sudah ditunjukkan secara jelas oleh dalil qath’i.

Berdasarkan hal itu, apabila suatu keterangan telah diyakini sumbernya dari firman Allah atau Sunnah Rasulullah SAW dan telah diyakini makna dan sasaran yang ditujunya, maka tidak ada lagi ijtihad padanya.Termasuk dalam hal ini, ketetapan-ketetapan
syari’at yang telahmenjadi kesepakatan umum para ulama besar terdahulu maupun yang kemudian, seperti kewajiban lima shalat fardhu dalam sehari-semalam, wanita-wanita yang haram dinikahi disebabkan adanya hubungan kekeluargaan terentu, kadar bagian hartawarisan bagi masing-masing ahli waris, diharamkannya memakan daging babi, dan diharamkannya minuman khamar.

2. Metode Ijtihad

Berijtihad dalam bidang-bidang yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah ditempuh dengan berbagai cara di antaranya qiyas atau analogi dan “memelihara kepentingan hidup manusia”, yaitu menarik manfaat dan menolak mudarat dalam kehidupan manusia.

Qiyas salah satu metode ijtihad telah dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW yaitu ketika beliau ditanya tentang hokum seorang suami yang dalam keadaan berpuasa mencium isterinya, batal puasanya atau tidak. Beliau balik bertanya, apakah berkumur membatalkan puasa atau tidak. Jika berkumur tidak membatalkan puasa, maka mencium isteri di siang bulan Ramadhan juga tidak membatalkan puasa. Meskipun sabda Nabi adalah Sunnah yang dapat menunjukkan adanya ketentuan hokum yang berdiri sendiri, namun cara Nabi memberikan jawaban tersebut dapat menunjukkan salah satu cara berijtihad yaitu dengan jalan qiyas. Adapun macam-macam metode ijtihad, antara lain :

a.       Menetapkan hokum yang sama sekali tidak disebut dalam ayat dengan pertimbangan demikepentingan hidup manusia, menarik manfaat dan menghindarkan mudarat. Misalnya, keharusan mencatat pernikahan, atau peraturan lalu lintas dan lain-lain. Metode ini   disebut maslahat mursalat (mempertimbangkan kepentingan hidup manusia dan lepas dari ketentuan yang ada).
b.      Menetapkan sesuatu demi kebaikan yang lebih. Metode ini disebut metoe istihsan, umpama: memindahkan tanah waqaf yang terkena rencana jalan.
c.       Menggunkan dalil yang ada, sampai terdapat dalil yang mengubahnya. Metode ini disebut metode istishhab, contoh: segala macam makanan yang tidak ada dalil yang mengharamkannya, boleh (mubah) dimakan.
d.      Menggunkan kebiasan yang berlaku (adat istiadat) dalam suatu masyarakat, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam. Metode ini disebut ‘urf.



3. Langkah-langkah dalam Berijtihad

Sebagaimana yang dikemukakan Mahmud Syaltut, bahwa wawasan yang menjadi sasaran dalam berijtihad adalah memecahkan permasalahan yang tidak termaktub dalam al-Qur’an dan memberikan penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, sehingga kesimpulannya menjadi jelas. Demikian pula pendapat Muhammad Abduh. Kalau umat Nabi Muhammad SAW tidak berpegang teguh pada al-Qur’an san Sunnah Rasulullah niscaya akan sesat. Demikian mafhum dari sabda Rasulullah:”Taraktu fikum amraini, lan tandhilu maa in tamassaktum bihimaa Kitabllahi wa sunnata Rasulih”(Saya meninggalkan dua warisan untuk kalian. Selama kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan sesat. Keduanya itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulnya).

Yang menjadi permasalahan bagi umat Islam ialah, al-Qur’an yang menjadi standar utama kurang dikuasai. Dalam memahami al-Qur’an umumnya mereka terikat dengan terjemahan yang ada dari terjemahan itulah umat Islam Indonesia memahami al-Qur’an. Kalau terjemahan al-Qur’an yang ada dijadikan standar, maka pembaharuan tidak akan terwujud dan ijtihad yang dihasilkan akan sama dengan masa-masa yang lalu. Oleh karena itu langkah pertama dalam melakukan ijtihad adalah mengadakan reinterpretasi makna al-Qur’an. Terjemahan al-Qur’an yang ada sekarang merupakan terjemahan yang didasarakan atas terjemahan harfiah bahasa Arab dan sudah terpengaruh oleh mazhab tertentu, bahkan mungkin kena pengaruh pola piker non Islam. Untuk itu langkah awal yang perlu dilakukan ialah restudy al-Qur’an atau mempelajari ulang pemahaman al-Qur’an, dengan melibatkan segenap oaring yang ahli dalam bidang-bidang tertentu. Apabila yang ahli bahasa saja yang dilibatkan, maka pemahamannya akan menjadi verbalistis.

Dalam rangka restudi al-Qur’an menurut Sunnah Rasul, harus dipersiapkan pedoman-pedoman. Dalam hal ini ilmu apa yang harus
dimiliki dan sarana apa yang harus dikuasai. Berikut ini dikemukakan beberapa syarat antara lain :

a. Memahami bahsa al-Qur’an dalam berbagai seginya, antara lain bentuk kata, kalimat, dan kesusastraan. Teori bahasa al-Qur’an harus dipergunakan dengan sungguh-sungguh, agar memperoleh kesimpulan yang tepat. Berbagai kemungkinan arti perlu diperhatikan, misalnya:    

    1). “Nabi yang Ummi”, mengandung beberapa pengertian yaitu:

a.       Ummi artinya buta huruf. Dengan demikian Nabiyil Ummiy adalah Nabi yang buta huruf atau tidak bisa menulis dan membaca.
b.      Ummi dapat pula arti sejenis umat atau bangsa. Dengan demikian Nabiyil Ummiy berarti Nabi pemersatu umat dan atau padat pula berarti Nabi yang ditulis pada suatu umat yang tidak mengetahui tentang al-Kitab (wahyu Allah)

    2). Kalimat dalam berbagai jenisnya harus difahami dan diperhatikan, misalnya Bismillaahir Rahmaanir rahiim. Dilihat dari jenisnya  Bismillaahir Rahmaanir rahiim. Adalah kalimat pernyataan (introjunction). Oleh karena itu pengertian Bismillaahir Rahmaanir rahiim. Diartikan “dengan nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”, agaknya terlalu dangkal. Untuk mendapatkan pengertian Bismillah yang lebih mantap, silahkan Anda mengadakan penelitian dan berijtihad secara tepat.
   
    3). Bahasa pengandaian yang dinyatakan dalam bahsa biasa seperti “sapi” dapat berarti sapi dalam arti yang sesungguhnya dan dapat pula berarti berwatak sapi. Pengetahuan mengenai bahsa yang mutasyaabih (berbentuk tasbih), harus benar-benar diperhitungkan dan diperhatikan. Apabila salah dalam memahami bahasa, maka salah pul;a memahami makna.

b. Memperhatikan teori makna atau ilmu tafsir. Sebagaimana dikemukakan pada pembahasaan bahasa al-Qur’an, bahwa berbagai pengertian al-Qur’an harus dikemukakan. Dengan sendirinya pengertian yang hanya berdasarkan bahasa tidak akan menjernihkan makna. Oleh karena itu teori makna atau ilmu tafsir (hermeneutika) harus dikuasai.

Pada awal pembahasan, telah dikemukakan bahwa al=Qur’an adalah satu ilmu. Sebagai suatu ilmu, untuk memahaminya diperlukan ilmu penunjang, antara lain ilmu tafsir. Pengkajian ilmu tafsir harus ditunjang denagn teori ilmu yang mencakup metodologi, simantik, analitika dan obyektivitas. Tanpa memperhatikan ilmu tafsir dan teori ilmu , ijtihad yang dihasilkan akan keliru. Untuk itu perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :

1)        Orang yang berijtihad harus bertaqwa, dalam arti bertuhan Allah dan beriman pada al-Qur’an dengan mencontoh Sunnah Rasul. Dengan demikian istilah penafsiran menurut saya, menurut ulama “x” dan lain-lain harus dijauhkan.
2)        Dalam berijtihad harus memperhatikan, bahwa al-Qur’an tersusun secara sistematik. Dengan demikian menghubungkan ayat yang satu dengan ayat atau surat lainnya merupakan suatu keharusan. Mujtahid harus menyatakan ayat ini menurut surat ini artinya adalah begini, atau menurut hadist pengertiannya demikian.
3)        Dalam menganalisis kebenaran suatu gagasan harus didasarkan pada data yang konkrit. Apabila mengungkap
4)         gagasan nur harus ditunjukkan Sunnah Rasulnya dan kalau dzulumat tunjukkan pula pembuktian yang bertolak belakang dengan Sunnah Rasul. Dengan demikian asbaabun Nuzul al-Qur’an harus dipelajari. Kitab-kitab wahyu Allah sifatnya menjawab tantangan zaman dan tantangan zaman harus dijawab dengan analisis wahyu.
5)        Pengertian yang didasarkan atas bahasa, metodologi, sistematika serta analitika harus dicocokan dengan pola atau contoh yang pernah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Kalau ternyata cocok dengan Sunnah Rasul, maka kesimpulannya adalah benar dan jika tidak sesuai, maka kesimpulannya perlu ditinjau ulang.

Langkah-langkah yang disebut di atas, maka memahami bahasa orang Arab tidak mutlak, karena bahasa al-Qur’an bukan bahasa Arab. Al-Qur’an bukan kalamul Arab, tetapi kalamulah (bahasa Allah). Namun demikian karena bahasa al-Qur’an adalah serumpum dengan bahasa Arab, maka memahami bahasa Arab yang diajarkan di sekolah-sekolah atau madrasah merupakan salah satu bahan pembantu. Demikian pula halnya dengan buku-buku lain yang ditulis saintis yang berkembang dewasa ini, baik dalam bidang pasti alam maupun social budaya. Hal itu jelas akan berpengaruh pada fikiran manusia yang mempelajarinya. Buku-buku yang berbahasa Arab banyak berpengaruh pada kalangan yang berpendidikan pesantren, sedangkan buku-buku yang ditulis para saintis banyak berpengaruh pada kalangan yang berpendidikan umum.

Sasaran yang utama dan pertama dalam berijtihad adalah memahami nilai-nilai yang obyektif ilmiah berdasarkan al-Qur’an menurut Sunnah Rasul. Nilai-nilai ilmiah yang dikembangkan oleh para ulama atau para sarjana perlu dikaji ulang. Semuanya dinyatakan benar, kalau memang sesuai dengan al-Qur’an menurut Sunnah Rasul, sebaliknya dinyatakan salah apabila bertentangan. Gelar utama, professor atau sarjana bukanlah merupakan jaminan untuk mengukur nilai keilmiahan seseorang menurut konsep al-Qur’an. Dengan demikian siapapun orangnya dan berpendidikan apapun patut didengar dan ditanggapi, apabila model berpikirnya benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan Allah menurut Sunnah Rasul-Nya.
Dalam hubungannya dengan mensukseskan pembangunan di bidang keislaman, hendaknya perhatian dipusatkan pada perombakan alam fikiran. Pertentangan atau perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang bersifat praktis hendaknya dihindari. Kalau tanggapan sudah benar dan tepat, maka sikap atau tingkah laku akan tepat yang otomatis tujuan yang diharapkan Allah yaitu hasanah fid dunyaa wal akhirat akan tercapai.

4. Perbedaan Pendapat Hasil Ijtihad

Ijtihad merupakan penggunaan daya fikir dan aqal dalam memahami ayat al-Qur’an dan Sunnah yang penunjukkan maupun kebenaran materinya zhanni, serta dalam memecahkan permasalahan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu hasil ijtihad merupakan penalaran seseorang atau beberapa orang. Karena kemampuan menalar seseorang terbatas, maka kebenaran hasil ijtihad sifatnya relatif, sehingga memungkinkan adanya perbedaan hasil ijtihad seseorang dengan ijtihad orang lain.

Islam bukan saja mentolerir perbedaan hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa perbedaan hasil ijtihad akan membawa kelapangan satu rahmat bagi umat, sebagaimana sabda Rasul SAW.: “Perbedaan pendapat di kalangan umat akan membawa rahmat”. Beberap[a sebab yang menimbulkan perbedaan hasil ijtihad ialah :

a. Pengertian Kata (Lafazh Ayat/ Hadist)

Dalam bahasa Arab, ada lafazh yang berbentuk majaz, dan ada pula yang pengertiannya dipengaruhi adat setempat. Misalnya pertama: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu”(An-Nisa’ ayat 22). Kata “nikah” dapat berarti “akad” dan dapat pula berarti “bersetubuh”. Imam Hanafi memilih arti
“bersetubuh”, oleh karena itu ia berpendapat haram ayahnya menikahi isteri anaknya . Imam Syafe’I memilih arti “akad”, sehingga ia berpendapat persetubuhan lewat zina tidak menyebabkan wanita yang dizina ayahnya haram dinikahi.

Kedua, “Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi  Allah dan RasulNya, dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang , atau dibuang dari negeri (tempat kediaman)” (Al-Maidah ayat 33). Kata “atau dibuang” (awyufaw) pada ayat ini mengandung dua arti,: hakiki dan majazi. Arti hakikinya ialah “mereka dikeluarkan dari negeri mereka ke negeri lain”, sedangkan arti majazinya ialah : “mereka dimasukkan ke dalam penjara”, Imam Abu Hanifah memilih arti kata majazi yaitu “penjara”, sedang Imam Syafe’I memilih arti hakiki yaitu “diusir” atau dibuang ke negeri lain.

b. Kaidah Ushul Fiqh

Pertama, sebagian orang memandang shighat amar atau arah perintah menunjuk pada wajib, sebagaian menunjuk pada Sunnah., dan sebagian lagi menunjuk pada mubah. Berdasarkan hal ini, para mujtahid berbeda pendapat dalam memahami hadist nabi :Jadikanlah akhir shalatmu shalat witir”, Shighat  amar pada hadist ini, menurut Imam Hanafi menunjuk pada wajib. Imam Syafii memandang pada sunnah. Oleh karan itu menurut Iman Syafii, hokum shalat witir adalah sunnah.

Kedua, sebagian orang memandang nahi atau larangan menunjuk pada haram dan sebagian lain menunjuk pada makruh. Berdasarkan hal ini, mereka berbeda pendapat dalam memahami sebuah hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang memakan binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar. Imam Syafii memandang nahi pada hadist ini menunjuk pada haram. Oleh karena itu menurut Imam Syafii, memakan binatang buas  yang bertaring dan burung yang bercakar adalah haram.

Sedang Imam Malik memandang nahi pada hadist ini menunjuk pada makruh. Oleh karena itu, menurut Imam malik, memakan binatang buas yang bertaring dan burung bercakar adalah makruh.

c. Status Hadist

Hadsit yang dianggap kuat oleh sebagian orang dianggap lemah oleh sebagian orang lain, atau suatu hadist sampai kepada satu mujtahid, tetapi tidak sampai kepada mujtahid yang lain, dan sebagiannya. Misal, sebuah hadist mengatakan:”tidak ada wudhu bagi orang yang tidak membaca bismillah”. Imam ahmad menjadikan hadist ini sebagai hujah tentang wajibnya membaca bismillah bagi siapa pun yang akan berwudhu. Sementara itu, Imam  mujtahid yang lain memandanag hadist ini lemah.

d. Ketentuan Hukum Ayat Bersifat Ta’abbudi (ubudiyah) atau Ta’aqquli (masuk akal)

Misal, mencuci bejana yang dijilat anjing harus dengan tanah atau dapat diganti dengan yang lain misalnya karbol atau deterjen, Dapatkah kedua hal ini dianggap sebagi pengganti tanah? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Sebagian besar ulama berpendapat, mencuci bejana bekas jilatan anjing dengan selain tanah tidak sah, sebab perintah tentang hal tersebut bersifat ta’abbudi. Dengan demikian harus dengan tanah. Sebagian kecil ulama berpendapat, mencuci bejana bekas jilatan anjing dengan karbol dan semisalnya adalah sah, sebab perintah itu adalah mencuci  dengan tanah bersifat ta’aqquli mengingat tujuan perintah itu adalah terwujudnya kebersihan, sedangkan dalam hal membasmi kuman-kuman akibat jilatan anjing, fungsi karbol dan semacamnya melebihi tanah.


e.     Qiyas

Misal, menurut Syafii, tumbuh-tumbuhan  dan buah-buahan yang tidak mengeyangkan atau bukan makanan pokok tidak dikenai zakat, sebab wajibnya zakat atas tumbu-tumbuhan dan tanam-tanaman adalah mengenyangkan atau makanan pokok sedang menurut Imam Hanafi, wajibnya zakat atas tumbuh-tumbuhan dan tanaman-tanaman adalah karena hal tiu pontensial untuk menunjang kehidupan dan perekonomian umat manusia. Oleh karena itu menurut Imam Hanafi, cengkeh, pala, kopi, the, kopra, penile, anggrek dan lain-lainnya dikenai zakat. Dengan demikian, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar. Oleh karena itu, sesuai dengan penegasan hadist Nabi tentang keberadaan perbedaan, hendaknya hal itu dijadikan sebagai rahmat yang akan membawa kelapangan dan kemudahan bagi umat, serta jangan dibesar-besarkan, sebab akan berakibat retaknya ukhuwah Islamiyah.

Prinsip-prinsip perbedaan ini dipengaang teguh oleh Imam-mujtahid terdahulu. Mereka saling toleran atau tasamuh, menghormati, dan menghargai pendapat orang lain. Oleh karena itu muncul ucapan popular mereka: “Bila pendapatkami salah, kemungkinan mengandung kesalahan dan bila pendapat selain kami salah, kemungkianan mengandung kebenaran”. Mereka menyadari betapapun kuatnya hasil ijtihad mereka, tetap tidak dapat menggugurkan hasil ijtihad yang lain, betapapun lemah hasil yang lain. Hal ini sejalan dengan kaidah:”Ijtihad tidak dapat digugut atau digugurkan oleh ijtihad yang lain”. Dari kaidah ini dapat dipahami, satu ijtihad tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain.

5. Re-Orientasi Ijtihad

Sejak di bawah cengkraman penjajah, alam fikiran umat Islam banyak yang telah terpengaruh oleh penjajah. Kelihaian dan kelicikan para penjajah mampu membelokkan dan menggeser alam fikiran bangsa yang dijajahnya. Pengaruh penjajah Barat (Eropa) terhadap negara-negara yang mengaku beragama Islam, tidak mustahil berpengaruh terhadap cara berfikir umat Islam. Ajaran Yahudi Zionisme dan Diasporanya yang telah mewarnai alam
fikiran Barat sejak masa sebelum Masehi, berpengaruh pula pada umat Islam. Buku-buku yang ditulis para cendekiawan Yahudi dengan bungkus al-Qur’an menjadi makanan yang lezat bagi umat Islam yang bodoh dengan al-Qur’an. Kebodohan orang Islam tentanmg al-Qur;an banyak diwarnai oleh alam fikiran Yahudi atau fikiran lainnya.

Dalam memahami al-Qur’an perlu diketahui bahayanya orang melakukan perujukan kepada al-Qur’an semata-mata secara tekstual, dengan tidak memperhatikan kondisi, situasi, dan latar belakanga turunnya suatu ayat. Pada akhir abad ke sembilan belas Syeik Muhammad Abduh menyatakan, hendaknya kita berhati-hati membaca buku-buku tafsir yang ditulis pada alam dan tingkah intelektual umat di zaman kita sekarang. Beliau dengan berani menganjurkan, agar kita langsung membaca al-Qur’an. Atau dengan kata lain, beliau mengimbau para ulama untuk membikin tafsir sendiri. Hanya beliau memperingatkan, untuk dapat berbuat demikian seseorang harus menguasai ilmu bahasa yang memadai, pengetahuan yang utuh mengenai sejarah Nabi, termasuk situasi kultural pada zaman itu, asbab alnuzul atausebab-sebab diturunkannya ayat-ayat, dan sejarah umat manusia.

Di antara para ahli hokum Islam atau fuqaha, terdapat consensus untuk membagi hukum Islam menjadi dua katagori yaitu hokum yang berhubungan dengan ibadah murni dan hokum yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Dalam hal katagori pertama, hampir tidak terdapat campur tangan bagi penalaran. Sedang  dalam hal hokum yang termasuk katagori kedua, terbuka kesempatan bagi pemikiran atau penalaran intelektual dalam mencari cara pelaksanan, dengan kepentingan masyarakat dan prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolak ukur
utama. Sementara itu kepentingan masyarakat dan pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan dapat berubah dan berbeda karena perbedaan zaman, lingkungan, situasi dan budaya. Mengenai hukun yang bertalian dengan kemasyarakatan. Al-Izz Abdussalam, seorang ahli hokum terkemuka dari golongan mazhab Imam syafii menyatakan bahwa semua usaha hendaknya difokuskan pada kepentingan masyaraka, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Bagi Allah tidak masalah apakah hamba-Nya beribadah atau tidak. Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat dan tidak dirugikan oleh perbuatan mereka yang bermaksiat.

Ibn Qayyim Al-Jauziyah Ibn Habib Al-Anshari, seorang murid kesayangan Imam Abu Hanifah dan yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Yusuf, berpendirian bahwa arak sekalipun, kalau dahulu dasarnya adat dan adat tersebut kemudian telah berubah, maka gugur pula hokum yang terkandung di dalam ayat itu.

Penpadat para Imam mazhab yang selama ini telah baku di kalangan umat Islam, nampaknya masih banyak kekurangannya. Penafsiran al-Qur’an yang ada, perlu ditinjau kembali. Reinterpretasi atau penafsiran kembali dan pengkajian tentang Islam harus diperbaharui. Beberapa ulama menghimbau agar umat Islam melakukan neo-ijtihad atau pembaharuan dalam berijtihad, demikian Ahmad Khan dari Pakistan, Mohammad Abdul Wahhab dari Saudi Arabia, dan lain-lainnya. Murid-murid mereka bertebaran di seluruh pelosok dunia, bahkan sampai ke Indonesia. Namun kemauan yang demikian luhurnya, karena masih adanya kefanatikan mazhab menyebabkan usaha tersebut nampaknya belum berhasil dan tantangan demi tantangan banyak dihadapi. Ajaran Islam harus dikembalikan dan bersandarkan al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad yang dilakukan para Imam-imam mazhab pada masa lalu perlu ditinjau kembali. Ijtihad mereka pada masanya dianggap cocok, namun beliau tentu cocok untuk masa kini. Untuk itu setiap generasi memerlukan mujtahid. Memahami al-Qur’an dan Sunnah yang hanya didasarkan atas pengertian yang sempit, membuat keduanya sebagai benda-benda mati. Adapun bentuk ijtihad yang diperlukan sekarang adalah :

a.       Ijtihad selektif yaitu memilih salah satu pendapat yang diyakini paling kuat di antara pendapat-pendapat yang ada.

Cara melakukan ijtihad ini adalah dengan mengadakan studi komparatif di antara pendapat-pendapat yang ada, dengan memilih dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar pendapat tersebut. Selanjutnya memilih pendapat yang paling kuat dalilnya, berdasarkan alat ukur yang dipergunakan dalam mentarjih atau menguatkan yaitu :

1)      Pendapat tersebut lebih banyak merealisir maksud syariat Islam, memberikan kemaslahatan, dan menghindarkan kerusakan manusia.
2)      Pendapat tersebut lebih memberikan kemudaaan, sesuai dengan kemudahaan yang diberikan syariat Islam.
3)      Pendapat tersebut lebih banyak memberikan rahmat kepada manusia.
4)      Pendapat tersebut lebih sesuai dengan kehidupan manusia pada masa sekarang.

Dalam hal ini ada beberapa factor yang mendorong perlu dilakukannya ijtihad selektif yaitu :

1). Perubahan politik, ekonomi, social dan budaya pada abad ini merupakan perubahan yang laur biasa. Perubahan tersebut menuntut para ulama untuk meninjau pendapat lama yang dirsakan tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi baru, kemudian memilih pendapat yang paling kuat.
2).  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Pada masa kini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut memberi pembentukan terhadap pengetahuan lama dan menjadi alat untuk menemukan pengetahuan yang benar, yang sebelumnya tidak diketahui. Disamping itu, perkembangan tersebut juga membekali para ulama masa kini dengan suatu kemampuan untuk menetapkan apakah pendapat ulama masa lalu yang diwarisinya masih relevan atau tidak.

3)  Ijtihad kreatif, yaitu menetapkan ketentuan baru terhadap suatu masalah, di mana ketentuan tersebut belum pernah dikemukakan para ulama terhadulu, baik masalah tersebut baru atau lama. Dalam hal ini adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam suatu masalah menunjukkan bahwa masalah tersebut memberikan bermacam-macam interpretasi sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pendapat baru yang sebelumnya belum pernah dikemukakan ulama.

1 komentar: